FAJRI 99.3 FMe

SUARA KEBANGKITAN ISLAM

STIKER DAKWAH

DENGAN ANDA MENEBARKAN SETIKER INI, BERARTI ANDA TELAH IKUT BERGABUNG BERSAMA KAMI UNTUK MENEBARKAN DAKWAH ISLAMI

HASMI

HAROKAH SUNNIYYAH UNTUK MASYARAKAT ISLAMI.

KAJIAN LIVE

DISIARKAN LANGSUNG DI STUDIO SATU FAJRI FM

KAJIAN MUSLIMAH

RUBRIK SOLUSI BAGI PERMASALAHAN MUSLIMAH

25 Oktober 2012

HUKUM GHIBAH

Imam Nawawi berkata di dalam Al-Adzkar: ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu memungkinkan.
Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.
Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).
Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgho’ (mendengarkan dengan seksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak dosa baginya mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu, jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis” [1]20) . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ, وَ إِمَّ يُنْسِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِكْرِ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
“Dan apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk bersama kaum yang dzolim setelah kalian ingat”. [Al-An’am : 68]
Benarlah perkataan seorang penyair…
وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ

فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ
Dan pendengaranmu, jagalah ia dari mendengarkan kejelekan
Sebagaimana engkau menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah.
Dan meninggalkan majelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ
“Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya”. [Al-Qashash : 55]
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”. [Al-Mu’minun :3]
Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut, tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجْهَهُ النَّارَ
“Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat” [2]
Demikian juga pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang dighibahi, mereka akan membelanya, sebagaimana dalam hadits-hadits berikut:
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ يُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُنِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : ذَلِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ : لاَ تَقُلْ ذَلِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
“Dari ‘Itban bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata: “Di manakah Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab: ”Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”, Maka Nabi r berkata: “Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah?, dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlash karena Allah”. [Bukhari dan Muslim]
حَتَّى بَلَغَ (رَسُولُ الهِر ) تَبُوكَ فَقَالَ وَهُوَ جَالِسٌ فِي الْقَوْمِ بِتَبُوكَ مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : بِئْسَ مَا قُلْتَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ
“Dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai di Tabuk, dan sambil duduk beliau bertanya: “Apa yang dilakukan Ka’ab?”, (Yakni mengapa dia tidak keluar berjihad ke Tabuk ini-Red.) maka ada seorang laki-laki dari Bani Salamah menjawab: ”Wahai Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz bin Jabal t berkata: “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam”. [Bukhori dan Muslim]

BERTAUBAT DARI GHIBAH
Berkata Syaikh Utsaimin : “…Ghibah yaitu engkau membicarakannya dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkannya di hadapan manusia sedangkan dia tidak ada. Untuk masalah (bertaubat dari ghibah) ini para ulama berselisih. Di antara ulama ada yang berkata (bahwasanya) engkau (yang menggibah) harus datang kepadanya (yang dighibahi) lalu berkata kepadanya: “Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan-mu di hadapan orang lain, maka aku mengharapkan-mu memaafkan-ku dan merelakan (perbuatan)ku”.
Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang kepadanya, tetapi ada perincian: Jika yang dighibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka engkau harus datang kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang engkau mengghibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan. Pendapat kedua ini lebih benar, yaitu bahwasanya ghibah itu, jika yang dighibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang kamu mengghibahinya dan engkau memohon ampun untuknya. Engkau bisa berkata: “Ya Allah ampunilah dia”, sebagaimana yang terdapat dalam hadits:
كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُ
“Kafarah (penebus dosa) untuk orang yang kau ghibahi adalah engkau memohon ampunan untuknya” [3].
Ibnu Katsir berkata: “…para ulama lain berkata: “Tidaklah disyaratkan baginya (yang mengghibah) meminta penghalalan (perelaan dosa ghibahnya-pent) dari orang yang dia ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang yang dia ghibahi tersebut bahwa dia telah mengghibahinya, maka terkadang malah orang yang dighibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengghibah) hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat yang dia telah mencela orang itu…”

CARA MENGHINDARKAN DIRI DARI GHIBAH
Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. [Qaf : 18]
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban)” [Al-Isra’: 36]
Jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga berbicara seenaknya tanpa ditimbang-timbang dahulu, yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sarana yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟
“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka ?”.
Demikian juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang: mulut dan kemaluan”. [5]
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ n يَقُوْلُ : إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah, yang dia tidak menganggap penting kalimat itu, akibatnya dia terjerumus ke dalam neraka Jahannam gara-gara kalimat itu”. [Bukhari]
Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ِ : مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada di antara dua bibirnya (yaitu lisannya), dan apa yang ada di antara kedua kakinya (yaitu kemaluannya), maka aku jamin surga baginya”. [Bukhari dan Muslim]
Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia, sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia” [6]
Imam Syafi’i berkata:
الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ

وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
“Jagalah lisanmu wahai manusia Janganlah lisanmu sampai menyengat-mu, sesungguhnya dia seperti ular
Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya”

GHIBAH YANG DIBOLEHKAN
Syaikh Salim Al-Hilali berkata: “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar, yang sesuai syari’at, yang tujuan tersebut tidak mungkin bisa dicapai kecuali dengan ghibah itu”. [7]
Hal-hal yang membolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair :
الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
“Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa Dan orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan kemungkaran”

Pertama : Pengaduan
Maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang lainnya, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian dan demikian”. Dalilnya firman Allah:
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya”. [An-Nisa’ : 148].
Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukkan bolehnya orang yang didzholimi mengghibahi orang yang mendzoliminya, dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka.

Kedua : Minta Bantuan Untuk Mengubah Kemungkaran Dan Mengembalikan Pelaku Kemaksiatan Kepada Kebenaran.
Maka seseorang (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah haram.

Ketiga : Meminta Fatwa.
Misalnya seseorang berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat dzolim padaku”, atau “Saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah hukuman yang dia dapatkan?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya. Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَتْ هِنْدٌ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ لِلنَّبِيِّ : إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ : خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dari ‘Aisyah berkata: Hindun, istri Abu Sofyan, berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak memberi belanja yang cukup untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil tanpa pengetahuannya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”

 Keempat : Memperingatkan Kaum Muslimin Dari Kejelekan.
Hal ini diantaranya: Jarh wa ta’dil (celaan dan pujian terhadap seseorang) yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits. Mereka berdalil dengan ijma’ tentang bolehnya, bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh (mencela) orang-orang yang berhak mendapatkannya, dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at. Seperti perkataan ahlul hadits: “Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan lain-lainnya. [10]
Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nasehat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله : أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ).
“Fatimah binti Qois berkata: “Saya datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)”.

Kelima : Ghibah Dibolehkan Kepada Seseorang Yang Terang-Terangan Menampakkan Kefasikannya Atau Kebid’ahannya.
Seperti orang yang terang-terangan meminum khamer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
“‘Aisyah berkata: “Seseorang datang minta idzin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya”.
Namun diharomkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.

Keenam : Untuk Pengenalan.
Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’roj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
PERHATIAN
Syaikh Salim Al-Hilali berkata:
1. Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah hukum yang menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang ‘illatnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal, yaitu haramnya ghibah.
2. Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja –pent). Maka tidak boleh memperluas terhadap bentuk-bentuk di atas (ghibah yang dibolehkan). Bahkan orang yang mendapatkan keadaan darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah –pent) hendaknya bertaqwa kepada Allah, dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui batas. [14]
Maraji’ :
1. Kitab As-Samt, karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
2. Syarah Riadlus Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
3. Taisir Karimir Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
4. Bahjatun Nadzirin Syarah Riadlus Sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid 3
5. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
6. Al-Muntaqo Al-Mukhtar Min Kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab tahrimul ghibah
7. Tuhfatul Ahwadzi
8. Kitabuz Zuhud, karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
9. Subulus Salam, karya As-Shon’ani, jilid 4 bab tarhib min masawiil akhlaq.
10. Taudlihul Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
11. Hajrul Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]

bagaimana hukum berkurban?

Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarganya, para shahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Amma ba'du:
Para pembaca yang dirahmati Allah Ta'alaa:
Manakala berkurban termasuk salah satu syiar Islam yang agung, dimana kita merealisasikan tauhid kepada Allah, mensyukuri kenikmatan-Nya kepada kita serta cerminan ketaatan ayah kita Ibrahim kepada Rabbnya, demikian juga terdapat banyak kebaikan dan keberkahan didalamnya, maka seorang muslim harus memperhatikannya dan mengagungkannya, dan berikut ini kami sampaikan sekilas tentang syiar yang agung ini:
Udhiyyah (qurban): yaitu hewan ternak yang disembelih (seperti unta, sapi, dan kambing) untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'alaa – dinegeri tempat tinggal orang yang berkurban – setelah shalat Idul Adha sampai akhir hari Tasyriq (yaitu tanggal 13 bulan Dzul Hijjah) dengan niat untuk udhiyah (qurban).
Allah Ta'alaa berfirman:
(2:فصل لربك وانحر)(سورة الكوثر)
Artinya: (Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah)[QS Al-Kautsar:2].
Dan firman-Nya juga:
قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين) سورة الأنعام:162
Artinya: (Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam)[QS Al-An'am: 162]

ولكل أمة جعلنا منسكاً ليذكروا اسم الله على ما رزقهم من بهيمة الأنعام فإلهكم إله واحد فله أسلِموا) (سورة الحج :34

Artinya: (Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya) [QS Al-Hajj: 34].
Hukum berkurban :
Berkurban merupakan salah satu syiar islam, disebutkan dalam kitab Jawahirul Iklil syarh Mukhtashar Kholil, bahwa apabila penduduk satu negeri meninggalkannya  maka mereka diperangi karena kurban termasuk syiar islam (Rasail Fiqhiyyah oleh Syaikh Utsaimin: 46).
Para ulama telah berselisih mengenai hukumnya menjadi dua kelompok :
1-Bahwa hukumnya wajib, pendapat ini diambil oleh Imam Auzai, Allaits, Abu Hanifah, dan salah satu riwayat Imam Ahmad, juga merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Malik atau secara dhohirnya pendapat Malik. Yang mengambil pendapat ini berdalilkan dengan :
•    Firman Allah Taalaa :
( فصل لربك وانحر)(الكوثر
Artinya: (Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah)[QS Al-Kautsar:2]
Ayat ini menggunakan kata kerja perintah (inhar), dan perintah pada dasarnya bermakna wajib, kecuali ada yang memalingkan dari wajib menjadi dunah maupun mubah. Demikian menurut ahli usul fikih.
•    Hadits Jundab radhiyallahu anhu dalam kitab Shahihain dan lainnya berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: (barangsiapa yang menyembelih kurbannya sebelum sholat maka hendaklah menggantinya dengan yang lain, dan barangsiapa yang belum menyembelih maka hendaklah dia menyembelih dengan nama Allah) HR Imam Muslim : 3621.
•    Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: (barang siapa yang memiliki kelapangan namun tidak berkurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat sholat kami) HR Ahmad dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Hakim dari haditsnya Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dikatakan dalam Fathul Bari para perawinya tsiqoh.
2- Bahwa hukumnya sunah muakkadah, ini pendapat Jumhur Ulama yaitu madzhab Syafie, Malik dan Ahmad dalam pendapatnya yang masyhur, akan tetapi  kebanyakan yang mengambil pendapat ini mengatakan bahwa bagi yang mampu makruh hukumnya meninggalkannya. Sedangkan dalil-dalil pendapat ini adalah:
•    Hadits Jabir radhiyallahu anhu dalam sunan Abu Dawud dimana dia berkata: Aku sholat Idul Adha bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu ketika selesai didatangkan dua ekor domba lalu beliau menyembelihnya dengan mengucapkan:
 بسم الله والله أكبر ، اللهم هذا عني وعمن لم يضح من أمتي
Artinya: (Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah ini dariku dan dari siapa saja yang belum berkurban dari umatku). (Sunan Abu Dawud dengan syarah Muhammad Syamsul Haqq Abadi) (7/ 486).
•    Riwayat Jamaah kecuali Imam Bukhari dalam hadits: (Barangsiapa diantara kalian ingin berkurban maka janganlah mengambil dari rambut dan kukunya).

Syaikh Utsaimin rahimahullah setelah menyampaikan dalil-dalil yang mewajibkan maupun yang sunah muakkadah, bahwa dalil-dalilnya hampir sama kuat, maka sebaiknya menempuh jalan ikhtiyath (hati-hati) sebaiknya tidak meninggalkannya ketika mampu karena merupakan bentuk pengagungan kepada Allah dan mengingat-Nya dan melepaskan beban dengan yakin. (Rasail Fiqhiyyah: 50).
Berkurban untuk yang sudah meninggal:
Pada dasarnya berkurban pada waktu yang ditetapkan disyariatkan kepada orang yang masih hidup untuk dirinya sendiri dan keluarganya, namun dia boleh mensedekahkan sebagian pahalanya kepada siapa saja yang masih hidup maupun sudah meninggal karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika berkurban beliau mengucapkan: (Ya Allah, ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad), yang secara otomatis termasuk anggota keluarga beliau yang sudah meninggal.
Adapun orang yang sudah meninggal apabila dia telah berwasiat dari sepertiga hartanya atau menjadikannya sebagai waqaf maka wajib dilaksanakan.
Namun apabila dia belum sempat berwasiat atau mewaqafkan dan seseorang ingin berkurban untuk orang meninggal yang dikehendakinya maka itu baik menurut sebagian ulama termasuk dari kalangan madzhab Hambali, dan dianggap sebagai sedekah untuk yang sudah  mati, akan tetapi sunahnya setiap orang mengikutsertakan keluarganya yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dalam kurbannya dan ketika menyembelihnya mengucapkan:

اللهم هذا عني وعن آل بيتي
Artinya: (Ya Allah, ini dariku dan anggota keluargaku).
Jadi orang yang sudah meninggal tidak perlu dikhususkan udhiyyahnya sendiri.
Para ulama telah bersepakat bahwa menyembelih kurban dan mensedekahkan dagingnya lebih utama dari pada sedekah dengan uang yang senilai dengannya atau lebih dari itu karena Rasulullah shallawahu alaihi wasallam berkurban dan tidak pernah melakukan kecuali yang lebih utama dan lebih baik, dan itu madzhab Imam Abu Hanifah, Syafie dan Ahmad rahimahumullah.
Keutamaannya dan yang paling utama darinya :
Seekor kambing cukup bagi seseorang dan keluarganya berdasarkan hadits Abu Ayyub:
حديث أبي أيوب « كان الرجل في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته فيأكلون ويطعمون » رواه ابن ماجة والترمذي وصححه .
Artinya: (dahulu di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seseorang berkurban dengan seekor kambing untuk dirinya dan anggota keluarganya lalu mereka memakannya dan mensedekahkannya) HR Ibnu Majah dan Turmudzi dan dishahihkannya.
Yang disebutkan secara nas adalah unta, sapi  dan kambing baik domba maupun kambing jawa, adapun kerbau maka boleh karena diqiyaskan dengan sapi.
Sebagian ulama berpendapat yang paling afdhol adalah badanah (unta) untuk satu keluarga kemudian sapi untuk satu keluarga kemudian kambing untuk satu keluarga kemudian tujuh atau sepuluh keluarga berpatungan untuk seekor unta kemudian tujuh keluarga berpatungan untuk seekor sapi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengenai pahala shalat Jumat: (Barangsiapa pergi ke masjid pada saat pertama maka seolah–olah dia bertaqarrub dengan seekor unta, pada saat kedua seolah dia bertaqarrub dengan seekor sapi, pada saat ketiga seolah dia bertaqarrub dengan seekor kambing...), pendapat ini diambil oleh para Imam yang tiga yaitu Abu Hanifah, Syafiie dan Ahmad.
Dengan demikian seekor kambing lebih utama dari seekor unta atau sapi untuk tujuh keluarga.
Imam Malik berkata: yang paling afdhol jadz’u (yang sudah berumur delapan atau Sembilan bulan) dari jenis dzo’ni (domba) kemudian sapi kemudian unta, karena Nabi shalallahu 'alaihi wasallam  berkurban dengan dua ekor kambing kibasy (domba jantan) dan beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melakukan kecuali yang paling afdhol.
Dan jawaban atas hal itu bahwa Beliau shallallahu alaihi wasallam terkadang memilih yang paling utama untuk memudahkan umatnya karena mereka mencontoh beliau dan beliau tidak ingin memberatkan mereka. Dinukil dari Fatwa-fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Bazz.
Seekor unta dan sapi cukup untuk tujuh orang, berdasarkan riwayat dari Jabir radhiallahu anhu berkata: (Kami menyembelih di Hudaibiyyah bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam seekor unta untuk tujuh orang, seekor sapi untuk tujuh orang, dan dalam riwayat lain: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kami untuk setiap tujuh orang berserikat dalam seekor unta dan sapi) dan dalam riwayat lain: (lalu seekor sapi disembelih untuk tujuh orang mereka berserikat padanya) HR Imam Muslim.
Syarat- syarat berkurban :
1- Umurnya sudah mencukupi, untuk domba adalah enam bulan, dan kambing setahun, sedangkan sapi dua tahun dan unta lima tahun.
2- Selamat dari aib dan cacat, berdasarkan sabda Rasulullah shallawahu alihi wasallam: (Ada tiga hal yang tidak diperbolehkan dalam berkurban, yang buta jelas kebutaannya, yang sakit jelas sakitnya, yang pincang jelas pincangnya, yang kurus yang tidak kelihatan dagingnya) Shahih, (Lihat Shahihul Jami: 886).
Ada juga cacat yang lebih ringan dari yang ini yang tidak menghalangi keabsahannya namun makruh disembelih seperti yang patah tanduknya atau putus telinganya, atau terbelah telinganya dan lain-lain, karena berkurban adalah taqarrub kepada Allah, sedangkan Allah itu bagus dan tidak menerima kecuali yang bagus, dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Islam maka itu merupakan ketakwaan hati.
3- Haram menjualnya: apabila  hewan kurban telah ditentukan maka tidak boleh menjualnya atau menghadiahkannya kecuali menggantinya dengan yang lebih baik, jika hewan kurban beranak maka dikurbankan bersama anaknya, sebagaimana diperbolehkan menaikinya jika perlu, dan dalilnya adalah yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat seorang laki yang menuntun seekor unta lalu beliau berkata : (Naikilah dia, dia berkata: dia unta kurban, lalu beliau berkata: naikilah dia sampai kedua atau tiga kalinya).
4- Menyembelihnya diwaktu yang ditentukan, yaitu setelah sholat Idul Adha dan khutbah, bukan setelah masuk waktu sholat, sampai sebelum terbenamnya matahari akhir hari Tasyriq yaitu hari ketiga belas bulan Dzul Hijjah berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: (barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat maka hendaklah mengulanginya) HR Imam Bukhari dan Muslim, juga berdasarkan perkataan Ali radhiyallahu anhu: (hari-hari menyembelih adalah hari Idul Adha dan tiga hari sesudahnya) dan ini madzhab Hasan Al-Bashri, Atha bin Abi Rabah, Auzai, dan Syafiie, dan dipilih Ibnu Mundzir semoga Allah Merahmati mereka semua.
Apa yang dilakukan terhadap hewan kurban :
- Bagi yang memiliki hewan kurban disunahkan pertama kali untuk makan darinya apabila memungkinkan berdasarkan hadits: (hendaklah setiap orang makan dari hewan kurbannya) dishahihkan dalam Shahihul Jami : 5349, dan hendaklah makan setelah sholat Idul Adha dan khutbah dan ini pendapat para ulama diantaranya Ali, Ibnu Abbas, Malik, dan Syafiie dan lainnya. Dan dalil diatas adalah hadits Buraidah radhiallahu anhu: (dahulu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar sholat pada hari raya Idul Fithri sampai beliau makan, dan tidak makan pada hari raya Idul adha hingga beliau menyembelih) Syeikh Albani rahimahullah berkata: sanadnya shahih: Al Misykat 1/ 452.
- Yang paling afdhol menyembelih sendiri, jika tidak maka disunahkan untuk menghadiri penyembelihannya.
- Disunahkan membagi dagingnya tiga bagian, sepertiga untuk dimakan, sepertiga dihadiahkan, dan sepertiganya lagi disedekahkan, seperti dikatakan Ibnu Masud dan Ibnu Umar radhiyallahu anhum, sebagaimana para ulama sepakat bahwa tidak boleh menjual dagingnya, lemaknya atau kulitnya, dalam hadits shahih: (Barangsiapa menjual kulit kurbannya maka tidak ada kurban baginya) dihasankan dalam Shahihul Jami: 6118, dan tidak boleh diberikan sedikitpun dari kurbannya kepada jagal sebagai upah berdasarkan perkataan Ali radhiallahu anhu: (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkanku untuk menyembelih unta dan mensedekahkan dagingnya dan kulitnya dan tali kekangnya dan tidak boleh memberikan kepada jagal sedikitpun darinya) dan dia berkata: dan kami memberikannya dari harta kami sendiri. Muttafaqun alaihi.
Dan katanya dibolehkan memberikan kepadanya sebagai hadiah, dan dibolehkan memberikannya kepada orang kafir karena kefakirannya atau kekerabatannya atau karena tetangga atau untuk melunakkan hatinya. Diambil dari Fatawa Syaikh Abdul Aziz bin Bazz.
Adapun dizaman sekarang, dimana orang-orang tidak bisa mengolah kulit kurban dengan sendirinya, maka seorang ulama berfatwa bahwa boleh yang berkurban mensedekahkan kepada sebuah badan kebajikan yang posisinya mewakili kaum fakir miskin lau badan ini menjualkan kulitnya untuk mereka.
Adapun patungan kurban disekolah-sekolah dasar yaitu setiap anak mengumpulkan sejumlah uang, maka ulama berfatwa boleh untuk latihan kurban, namun bukan termasuk kurban yang sah secara syar'ie, apabila disedekahkan maka mudah-mudahan bernilai pahala, namun sebaiknya tidak dilakukan oleh orang dewasa, karena bukan waktunya untuk latihan.
Masalah : apa yang harus dihindari oleh seorang muslim pada sepuluh hari bulan Dzul Hijjah jika hendak berkurban ?
Disebutkan dalam sunah bahwa siapa saja yang hendak berkurban maka diwajibkan untuk tidak mengambil sebagian rambutnya atau kukunya atau bulunya dari awal Dzul Hijjah sampai menyembelih kurbannya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: (apabila kalian melihat hilal Dzul Hijjah dan salah satu dari kalian hendak berkurban maka tidak boleh mengambil rambut atau kukunya sampai berkurban) dan dalam riwayat lain: (maka janganlah menyentuh sediktpun dari rambut atau bulunya) HR Imam Muslim dari empat jalan: 13/ 146.
Dan perintah ini menunjukkan kewajiban dan larangan menunjukkan pengharaman menurut pendapat yang paling kuat, karena perintah itu mutlak dan larangan murni tidak ada yang memalingkannya menjadi sunah.
Namun seandainya dengan sengaja mengambil sebagiannya maka dia wajib beristighfar dan tidak ada denda baginya dan kurbannya sah.
Dan barangsiapa yang perlu mengambil sedikit darinya karena terganggu dengan keberadaannya seperti kukunya patah atau luka yang ada dibalik rambut maka tidak mengapa mengambilnya, karena perkara itu tidak lebih berat dari orang yang berihram yang dibolehkan mencukur rambutnya karena ada gangguan.

Dan tidak mengapa seorang laki maupun perempuan membasuh rambutnya pada sepuluh hari Dzul Hijjah karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya melarang mengambilnya, dan karena yang berihram diizinkan untuk membasuh kepalanya.

Dan hikmah larangan bagi orang yang berkurban mengambil rambut atau kukunya adalah ketika dia menyerupai orang yang berihram pada sebagian amalan hajinya yaitu taqarrub kepada Allah dengan menyembelih kurban maka diberikan padanya sebagian hukumnya.
Dan barangsiapa telah mengambil sebagian rambut atau kukunya pada awal sepuluh hari Dzul Hijjah karena tidak ingin berkurban kemudian berniat kurban ditengah-tengah sepuluh hari Dzul Hijjah maka dia tidak boleh mengambilnya ketika ada niat berkurban.

Dan wanita yang mewakilkan saudara lakinya atau anak lakinya untuk menyembeih kurban tidak boleh mengambil sedikitpun dari rambutnya atau kukunya ditengah sepuluh hari Dzul Hijjah, adapun anggapan bahwa larangan ini juga berlaku bagi wakilnya maka ini tidak benar, karena hukum berkaitan dengan orang yang berkurban, baik itu mewakilkan kepada orang lain atau tidak, dan wakil tidak terikat dengan larangan, karena larangannya khusus bagi orang yang hendak berkurban untuk dirinya sebagimana dinyatakan dalam hadits, adapun yang berkurban untuk orang lain karena wasiat atau perwakilan maka larangan tersebut tidak mengikatnya.

Kemudian bahwa larangan ini secara dhohirnya hanya terikat kepada yang punya kurban dan tidak meliputi istrinya dan tidak juga anaknya kecuali apabila salah seorang dari mereka memiliki kurban sendiri, dan karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkurban untuk keluarga Muhammad dan tidak ada riwayat bahwa beliau melarang mereka untuk mengambil rambut atau kuku mereka.

Dan barangsiapa memiliki kurban kemudian berazam untuk haji maka dia tidak mengambil dari rambut maupun kukunya apabila hendak berihram karena ini sunah ketika ada keperluan. Tetapi ketika dia melakukan haji tamattu maka dia memendekkan rambutnya ketika selesai dari umrahnya karena itu termasuk manasik.

Dan hanyalah larangan yang disebutkan dalam hadits diatas bagi orang yang berkurban sehingga tidak diharamkan bagi orang yang berkurban untuk memakai minyak wangi atau berhubungan suami istri atau memakai pakaian yang berjahit dan semacamnya.

Wallahu alam bishowab