Pembaca yang dirahmati Allah swt, pada edisi yang
telah lalu, kita telah bahas makna tauhid rubibiyah. Maka pada edisi
kali ini, kami lanjutkan pembahasan dengan tema tauhid uluhiyah.
1. Uluhiyah Adalah Ibadah.
Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub (mendekatkan diri) dengan hal yang disyari’atkan seperti do’a, nadzar, qurban, roja’ (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut), dan inabah (kembali/taubat).
Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub (mendekatkan diri) dengan hal yang disyari’atkan seperti do’a, nadzar, qurban, roja’ (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut), dan inabah (kembali/taubat).
Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. Allah berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu.” (An-Nahl: 36).
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu.” (An-Nahl: 36).
Dalam ayat lain, “Dan kami tidak
mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiya’: 25)
Setiap rasul selalu melalui dakwahnya
dengan perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi
Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan lain-lain. Allah mengisahkan,
“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85).
Dan juga kisah Nabi Ibrahim -‘alaihissalam-, “Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada kepada-Nya’.” (Al-Ankabut: 16)
“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85).
Dan juga kisah Nabi Ibrahim -‘alaihissalam-, “Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada kepada-Nya’.” (Al-Ankabut: 16)
Dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad , “Katakanlah,
‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (Az-Zumar: 11)
Rasulullah sendiri juga bersabda, “Saya
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa
tiada ilah (sesembahan) yang berhak untuk disembah kecuali Allah dan
bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kewajiban awal sebagai mukallaf (orang
Islam yang telah dikenai beban syari’at) adalah bersaksi laa ilaaha
illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah ), serta
mengamalkannya. Allah berfirman,
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu..” (QS.Muhammad: 19)
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu..” (QS.Muhammad: 19)
Dan kewajiban pertama bagi orang yang ingin masuk Islam adalah mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Jadi jelaslah bahwa tauhid uluhiyah
adalah maksud dari dakwah para rasul. Disebut demikian, karena uluhiyah
adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh nama-Nya, “Allah”, yang
artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah).
Juga disebut “Tauhid Ibadah”, karena
‘ubudiyah adalah sifat ‘abd (hamba) yang wajib menyembah Allah secara
ikhlas, karena ketergantungan mereka kepada-Nya. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, kebutuhan seorang hamba untuk
menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, tidak
memiliki bandingan yang dapat dikiaskan, tetapi dari sebagian segi mirip
dengan kebutuhan jasad kepada makanan dan minuman. Akan tetapi diantara
keduanya ini terdapat perbedaan mendasar. Karena hakikat seorang hamba
adalah hati dan ruhnya, ia tidak bisa baik kecuali dengan Allah yang
tiada Tuhan (yang wajib disembah) selain-Nya. Ia tidak bisa tenang di
dunia kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya hamba memperoleh
kenikmatan dan kesenangan tanpa Allah , maka hal itu tidak akan
berlangsung lama, tetapi akan berpindah-pindah dari satu macam ke macam
yang lain, dari satu orang kepada orang lain. Adapun Tuhannya maka Dia
dibutuhkan setiap saat dan setiap waktu, di manapun ia berada maka Dia
selalu bersamanya.” (Majmu’ Fatawa, 1/24)
Tauhid ini adalah inti dari dakwah para
rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh
amal. Tanpa merealisasikannya, semua amal ibadah tidak akan diterima.
Karena kalau ia tidak terwujud, maka bercokolah lawannya, yaitu syirik.
Sendangkan Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik.” (QS. An-Nisa: 48)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik.” (QS. An-Nisa: 48)
“…seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalamu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
Dan tauhid jenis ini adalah kewajiban pertama segenap hamba. Allah berfirman,
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapakmu …” (QS. An-Nisa: 36)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapakmu …” (QS. An-Nisa: 36)
2. Makna Syahadat لا اله الّا الله
Yaitu ber-i’tiqad (meyakini) dan berikrar bahwasannya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah , menta’ati hal tersebut dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah , siapapun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.
Yaitu ber-i’tiqad (meyakini) dan berikrar bahwasannya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah , menta’ati hal tersebut dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah , siapapun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.
Jadi makna kalimat ini secara ijmal (global) adalah, “Tidak ada sesembahan yang haq selain Allah”.
Khabar لا harus di taqdirkan بِحَقٍّ (yang haq), tidak boleh ditaqdirkan dengan مَوْجُوْدٌ (ada).
Karena ini menyalahi kenyataan yang ada,
sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan
berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk
Allah . Ini tentu kebathilan yang nyata.
Pembaca yang dirahmati Allah jika kita
perhatikan seksama, banyak tersebar keyakinan-keyakinan yang salah di
masyarakat kita. Kalimat لا اله الّا الله telah ditafsiri dengan
beberapa penafsiran yang batil, antara lain:
a. لا اله الّا الله artinya:
“Tidak ada sesembahan kecuali Allah”.
Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah,
baik yang haq maupun yang batil itu adalah Allah.
b. لا اله الّا الله artinya:
“Tidak ada pencipta selain Allah”. Ini
adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang
dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu
belum cukup.
c. لا اله الّا الله artinya:
“Tidak ada hakim (penentu hukum) selain
Allah”. Ini juga sebagian dari makna kalimat لا اله الّا الله. Tetapi
bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup.
Semua tafsiran di atas adalah batil dan
kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam
kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut
salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti) لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ اِلاَّ
الله tidak ada sesembahan yang haq selain Allah) seperti tersebut di
atas.
3. Makna Syahadat أنّ محمّد رسول الله
Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa
beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang diutus kepada manusia
secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: menta’ati
perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak
menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyari’atkan.
4. Syarat-syarat لا اله الّا الله
Bersaksi dengan laa ilaaha illallah
harus dengan tujuh syarat. Tanpa syarat-syarat itu syahadat tidak akan
bermanfaat bagi yang mengucapkannya. Rinciannya adalah sebagai berikut:
a. Ilmu (mengetahui), yang
menafikan jahl (kebodohan). Artinya memahami makna dan maksudnya.
Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan
ketidaktahuannya dengan hal tersebut. Allah berfirman, “… akan tetapi (orang yang dapat member syafaat ialah) orang yang mengakui hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya).” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa
ilaaha illallah, dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh
lisannya. Seandainya ia mengucapkan, tetapi tidak mengerti apa maknanya,
maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.
b. Yaqin (yakin) yang menafikan
syak (keraguan). Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan
syahadat ini. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian
itu. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian
mereka tidak ragu-ragu …” (QS. Al-Hujurat: 15)
Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi bersabda, “Siapa
yang engkau temui di balik tembok (kebun) ini, yang menyaksikan bahwa
tiada ilah (yang berhak disembah) selain Allah dengan hati yang
meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) Surga.” (HR. Al-Bukhari). Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.
c. Qabul (Menerima), yang
menafikan radd (penolakan). Menerima kandungan dan konsekuensi dari
syahadat; menyembah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada
selain-Nya. Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta’ati,
maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah , “Sesunggunya
mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha illallah’
(tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan
diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan
sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shafaat: 35-36)
Ini seperti halnya menyembah kuburan
dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha illallah, tetapi tidak mau
meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti
mereka belum menerima makna laa ilaaha illallah.
d. Inqiyaad (tunduk dan patuh
dengan kandungan dan makna syahadat) yang menafikan tark (meninggalkan).
Allah berfirman, “Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada
Allah , sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia
telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22).
Makna ‘buhul tali yang kuat’
(Al-’Urwatul Wutsqa) pada ayat diatas adalah laa ilaaha illallah. Dan
makna ‘menyerahkan dirinya’ (yuslim wajhahu) adalah yanqadu (patuh,
pasrah).
e. Shidq (jujur), yang
menafikan kadzib (dusta). Yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga
membenarkannya. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya
mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah berfirman, “Diantara manusia
ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,
padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka
hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya
menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada
penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang
pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8-10)
f. Ikhlas, yang menafikan
syirik. Yaitu membersihakn amal dari segala debu-debu syirik, dengan
jalan tidak mengucapkannya karena mengingkari isi dunia, riya’ atau
sum’ah. Dalam hadits ‘Itban , Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah karena menginginkan ridha Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
g. Mahabbah (kecintaan), yang
menafikan baghdha’ (kebencian). Maksudnya mencintai kalimat ini serta
isinya, juga mencintai orang-orang yang mengamalkan konsekuensinya.
Allah berfirman, “Dan diantara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman
sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Maka ahluttauhid mencintai Allah dengan
cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahlu syirik mencintai Allah dan
mencintai yang lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan isi kandungan
laa ilaaha illallah.
5. Syarat-syarat أنّ محمّد رسول الله
a. Mengkui kerasulannya dan meyakininya di dalam hati,
b. Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan,
b. Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan,
c. Mengikutinya dan mengamalkan
ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta meninggalkan kebatilan yang
telah dicegahnya,
d. Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal yang ghaib, baik yang sudah lewat maupun yang akan datang,
d. Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal yang ghaib, baik yang sudah lewat maupun yang akan datang,
e. Mencintainya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orang tua, serta seluruh umat manusia,
f. Mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang lain serta mengamalkan sunnahnya.
Sumber:" [Kitab Tauhid karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan]
Sumber:" [Kitab Tauhid karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan]
0 komentar:
Posting Komentar