2 Agustus 2012

Tauhid Uluhiyyah

بسم الله الرحمن الرحيم
Pembaca yang dirahmati Allah swt, pada edisi yang telah lalu, kita telah bahas makna tauhid rubibiyah. Maka pada edisi kali ini, kami lanjutkan pembahasan dengan tema tauhid uluhiyah.
1.         Uluhiyah Adalah Ibadah.
 Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah  dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub (mendekatkan diri) dengan hal yang disyari’atkan seperti do’a, nadzar, qurban, roja’ (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut), dan inabah (kembali/taubat).
Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. Allah berfirman,  


“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu.” (An-Nahl: 36).
 Dalam ayat lain, “Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiya’: 25)
Setiap rasul selalu melalui dakwahnya dengan perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan lain-lain. Allah  mengisahkan,  


“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85).


Dan juga kisah Nabi Ibrahim -‘alaihissalam-, “Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada kepada-Nya’.” (Al-Ankabut: 16)
Dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad , “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (Az-Zumar: 11)
Rasulullah  sendiri juga bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak untuk disembah kecuali Allah  dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kewajiban awal sebagai mukallaf (orang Islam yang telah dikenai beban syari’at) adalah bersaksi laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah ), serta mengamalkannya. Allah  berfirman,


“Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu..” (QS.Muhammad: 19)
Dan kewajiban pertama bagi orang yang ingin masuk Islam adalah mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Jadi jelaslah bahwa tauhid uluhiyah adalah maksud dari dakwah para rasul. Disebut demikian, karena uluhiyah adalah sifat Allah  yang ditunjukkan oleh nama-Nya, “Allah”, yang artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah).
Juga disebut “Tauhid Ibadah”, karena ‘ubudiyah adalah sifat ‘abd (hamba) yang wajib menyembah Allah  secara ikhlas, karena ketergantungan mereka kepada-Nya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, kebutuhan seorang hamba untuk menyembah Allah  tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, tidak memiliki bandingan yang dapat dikiaskan, tetapi dari sebagian segi mirip dengan kebutuhan jasad kepada makanan dan minuman. Akan tetapi diantara keduanya ini terdapat perbedaan mendasar. Karena hakikat seorang hamba adalah hati dan ruhnya, ia tidak bisa baik kecuali dengan Allah  yang tiada Tuhan (yang wajib disembah) selain-Nya. Ia tidak bisa tenang di dunia kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya hamba memperoleh kenikmatan dan kesenangan tanpa Allah , maka hal itu tidak akan berlangsung lama, tetapi  akan berpindah-pindah dari satu macam ke macam yang lain, dari satu orang kepada orang lain. Adapun Tuhannya maka Dia dibutuhkan setiap saat dan setiap waktu, di manapun ia berada maka Dia selalu bersamanya.” (Majmu’ Fatawa, 1/24)
Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal. Tanpa merealisasikannya, semua amal ibadah tidak akan diterima. Karena kalau ia tidak terwujud, maka bercokolah lawannya, yaitu syirik.
Sendangkan Allah  berfirman,
  
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik.” (QS. An-Nisa: 48)


“…seandainya  mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88) 


“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalamu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
Dan tauhid jenis ini adalah kewajiban pertama segenap hamba. Allah  berfirman,  


“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapakmu …” (QS. An-Nisa: 36)
2.         Makna Syahadat لا اله الّا الله
Yaitu ber-i’tiqad (meyakini) dan berikrar bahwasannya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah , menta’ati hal tersebut dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah , siapapun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.
Jadi makna kalimat ini secara ijmal (global) adalah, “Tidak ada sesembahan yang haq selain Allah”.
Khabar لا harus di taqdirkan بِحَقٍّ (yang haq),  tidak boleh ditaqdirkan dengan  مَوْجُوْدٌ (ada).
Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah  banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah . Ini tentu kebathilan yang nyata.
Pembaca yang dirahmati Allah jika kita perhatikan seksama, banyak tersebar keyakinan-keyakinan yang salah di masyarakat kita. Kalimat لا اله الّا الله telah ditafsiri dengan beberapa penafsiran yang batil, antara lain:
a.         لا اله الّا الله artinya:
“Tidak ada sesembahan kecuali Allah”. Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang haq maupun yang batil itu adalah Allah.
b.         لا اله الّا الله artinya:
“Tidak ada pencipta selain Allah”. Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup.
c.         لا اله الّا الله artinya:
“Tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah”. Ini juga sebagian dari makna kalimat لا اله الّا الله. Tetapi bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup.
Semua tafsiran di atas adalah batil dan kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti) لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ اِلاَّ الله tidak ada sesembahan yang haq selain Allah) seperti tersebut di atas.
3.         Makna Syahadat  أنّ محمّد رسول الله
Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: menta’ati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah  kecuali dengan apa yang disyari’atkan.
4.         Syarat-syarat لا اله الّا الله
Bersaksi dengan laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat. Tanpa syarat-syarat itu syahadat tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya. Rinciannya adalah sebagai berikut:
a.   Ilmu (mengetahui), yang menafikan jahl (kebodohan). Artinya memahami makna dan maksudnya. Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut. Allah  berfirman, “… akan tetapi (orang yang dapat member syafaat ialah) orang yang mengakui hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya).” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia mengucapkan, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.
b.         Yaqin (yakin) yang menafikan syak (keraguan). Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan syahadat ini. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu. Allah  berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu …” (QS. Al-Hujurat: 15)
Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi  bersabda, “Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebun) ini, yang menyaksikan bahwa tiada ilah (yang berhak disembah) selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) Surga.” (HR. Al-Bukhari). Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.
c.         Qabul (Menerima), yang menafikan radd (penolakan). Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; menyembah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta’ati, maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah , “Sesunggunya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha illallah’ (tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shafaat: 35-36)
Ini  seperti halnya menyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha illallah, tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum menerima makna laa ilaaha illallah.
d.         Inqiyaad (tunduk dan patuh dengan kandungan dan makna syahadat) yang menafikan tark (meninggalkan). Allah  berfirman, “Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah , sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22).
Makna ‘buhul tali yang kuat’ (Al-’Urwatul Wutsqa) pada ayat diatas adalah laa ilaaha illallah. Dan makna ‘menyerahkan dirinya’ (yuslim wajhahu) adalah yanqadu (patuh, pasrah).
e.         Shidq (jujur), yang menafikan kadzib (dusta). Yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga membenarkannya. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah  berfirman, “Diantara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8-10)
f.          Ikhlas, yang menafikan syirik. Yaitu membersihakn amal dari segala debu-debu syirik, dengan jalan tidak mengucapkannya karena mengingkari isi dunia, riya’ atau sum’ah. Dalam hadits ‘Itban , Rasulullah  bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah karena menginginkan ridha Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
g.         Mahabbah (kecintaan), yang menafikan baghdha’ (kebencian). Maksudnya mencintai kalimat ini serta isinya, juga mencintai orang-orang yang mengamalkan konsekuensinya. Allah  berfirman, “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Maka ahluttauhid mencintai Allah  dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahlu syirik mencintai Allah  dan mencintai yang lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan isi kandungan laa ilaaha illallah.
5.         Syarat-syarat أنّ محمّد رسول الله
a.         Mengkui kerasulannya dan meyakininya di dalam hati,
b.         Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan, 
c.    Mengikutinya dan mengamalkan ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta meninggalkan   kebatilan yang telah dicegahnya,
 d.         Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal yang ghaib, baik yang sudah lewat maupun yang akan datang,
e.         Mencintainya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orang tua, serta seluruh umat manusia,
f.          Mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang lain serta mengamalkan sunnahnya.


Sumber:" [Kitab Tauhid karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan]

0 komentar:

Posting Komentar