Iman
adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat dengan
anggota badan (beramal). Dengan demikian iman kepada Allah berarti meyakini
dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada, Allah Maha Esa. Keyakinan itu
diucapkan dalam kalimat :
أشهد أن لاإله إلا الله
“Aku bersaksi tiada
Tuhan selain Allah”
Sebagai
perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti dengan perbuatan, yakni
menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Secara fitrah, setiap makhluk mengimani adanya Dzat yang
menciptakan tanpa harus berpikir atau mempelajari terlebih dahulu. Adapun jika
tidak sesuai dengan fitrah, maka ini terjadi karena ada sesuatu yang memasuki
hatinya dan memalingkannya dari fitrah tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Lalu orangtuanyalah yang
menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Rukun Iman yang pertama
adalah iman kepada Allah SWT yang merupakan dasar dari seluruh ajaran Islam.
Orang yang akan memeluk agama Islam terlebih dahulu harus mengucapkan kalimat
syahadat. Pada hakekatnya kepercayaan kepada Allah SWT sudah dimiliki manusia
sejak ia lahir. Bahkan manusia telah menyatakan keimanannya kepada Allah SWT
sejak ia berada di alam arwah. Firman Allah SWT :
وإذ اخذ ربك من بني أدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على انفسهم الست
بربكم قالوا بلى شهدنا
“Dan ingatlah, ketika
TuhanMu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi.” (QS. Al-A’raf : 172)
Jauh sebelum datangnya
agama Islam, orang-orang jahiliyah juga sudah mengenal Allah SWT. Mereka
mengerti bahwa yang menciptakan alam semesta dan yang harus disembah adalah
dzat yang Maha Pencipta, yakni Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan di dalam
Al-Qur’an :
ولئن سألتهم من خلق
السموت والأرض ليقولن خلقهن العزيز العليم
“Dan sungguh jika kamu
tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya
mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui.” (QS.
Az-Zukhruf : 9)
Manusia memiliki kecenderungan
untuk berlindung kepada sesuatu Yang Maha Kuasa. Yang Maha Kuasa itu adalah
dzat yang mengatur alam semesta ini. Dzat yang mengatur alam semesta ini sudah
pasti berada di atas segalanya. Akal sehat tidak akan menerima jika alam
semesta yang sangat luas dan teramat rumit ini diatur oleh dzat yang
kemampuannya terbatas. Sekalipun manusia sekarang ini sudah dapat menciptakan teknologi
yang sangat canggih, namun manusia tidak dapat mengatur alam raya ini. Dengan
kecanggihan teknologinya, manusia tidak akan dapat menghentikan barang sedetik
pun bumi untuk berputar.
Dzat Allah adalah sesuatu
yang ghaib. Akal manusia tidak mungkin dapat memikirkan dzat Allah. Oleh sebab
itu mengenai adanya Allah SWT, kita harus yakin dan puas dengan apa yang telah
dijelaskan Allah SWT melalui firman-firman-Nya dan bukti-bukti berupa adanya
alam semesta ini.
Ketika Rasulullah SAW
endapat kabar tentang adanya sekelompok orang yang berusaha memikirkan dan
mencari hakekat dari dzat Allah, maka beliau melarang mereka untuk melakukan
hal itu. Rasulullah SAW bersabda :
عن ابن عباس أن قوما
تفكروا فى الله عزوجل وقال النبي صلى الله عليه وسلم تفكروا فى خلق الله ولا
تفكروا فى ذات الله (رواه ابو الشيخ)
“Dari Ibnu Abbas RA,
diceritakan bahwa ada suatu kaum yang memikirkan tentang (hakekat) dzat Allah
Azza Wajalla, maka Nabi SAW bersabda : “Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan
janganlah kamu memikirkan (hakekat) dzat Allah.” (HR. Abu Asy-Syaikh)
Sebagai
perwujudan dari keyakinan akan adanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah
pengabdian kita kepada Nya. Pengabdian kita kepada Allah adalah pengabdian
dalam bentuk peribadatan, kepatuhan, dan ketaatan secara mutlak. Tidak
menghambakan diri kepada selain Allah, dan tidak pula mempersekutukan Nya
dengan sesuatu yang lain. Itulah keimanan yang sesungguhnya. Jika sudah
demikian Insya Allah hidup kita akan tentram. Apabila hati dan jiwa sudah
tentram, maka seseorang akan berani dan tabah dalam menghadapi liku-liku
kehidupan ini. Segala nikmat dan kesenangan selalu disyukurinya. Sebaliknya
setiap musibah dan kesusahan selalu diterimanya dengan sabar.
Dasar Beriman Kepada Allah
a.
Kecenderungan dan pengakuan hati
b.
Wahyu Allah atau Al-Qur’an
c.
Petunjuk Rasulullah atau Hadits
Setiap
manusia secara fitrah, ada kecenderungan hatinya untuk percaya kepada kekuatan
ghaib yang bersifat Maha Kuasa. Tetapi dengan rasa kecenderungan hati secara
fitrah itu tidak cukup. Pengakuan hati merupakan dasar iman. Namun dengan
pengakuan hati tidak akan ada artinya, tanpa ucapan lisan dan pengalaman
anggota tubuh. Sebab antara pengakuan hati, pengucapan lisan, dan pengalaman
anggota tubuh merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk mencapai
keimanan yang benar tidak hanya berdasarkan fitrah pengakuan hati nurani saja,
tetapi harus dipadukan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Cara Beriman Kepada Allah
SWT
Iman
kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam rukun
iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain,
maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri
seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka
ketidak-benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman
kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat,
serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang
secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah
seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku
beragama Islam.
Ditinjau dari segi yang
umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah SWT :
a.
Bersifat Ijmali
Cara
beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita
mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Qur’an sebagai
suber ajaran pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal
Allah SWT. Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia
Maha Pencipta, Maha Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.
b.
Bersifat Tafshili
Cara
beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah mempercayai
Allah secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT
memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya. Sebagai bukti
adalah adanya “Asmaul Husna” yang kita dianjurkan untuk berdoa dengan Asmaul
Husna serta menghafal dan juga meresapi dalam hati dengan menghayati makna yang
terkandung di dalamnya.
Maroji: Syarh Tsalatsatul Ushul,
Syaikh Muhammad ibn Sholih Al ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi
0 komentar:
Posting Komentar