5 Agustus 2012

Tauhid Asma Wa Shifat


بسم الله الرحمن الرحيم
Bismillah..Pembaca yang budiman, mungkin banyak diantara kita yang belum paham bahwa Allah  memiliki banyak nama dan sifat. Namun tentu saja nama dan sifat Allah  berbeda dengan nama dan sifat makhluk-Nya, karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Di antara perbedaannya, nama dan sifat Allah  penuh dengan kesempurnaan, sedangkan nama dan sifat makhluk mengandung banyak kekurangan. Pemahaman yang benar tentang nama dan sifat Allah  akan memberi dampak yang besar terhadap keimanan seseorang. Sebaliknya, pemahaman yang keliru bisa menyebabkan seseorang kufur kepada Allah .
1.         Definisi
Yang dimaksud dengan tauhid ini ialah mengesakan Allah  dengan seluruh nama dan sifat yang dimiliki-Nya. Keyakinan ini mengandung dua perkara:
a.         Penetapan, yang dimaksud adalah menetapkan bagi Allah  seluruh nama dan sifat-Nya. Maka tidaklah kita menetapkan nama bagi Allah  kecuali dengan nama yang Allah  tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya . Demikian pula tidaklah kita menetapkan sifat bagi Allah  kecuali dengan sifat yang Allah  tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya .
b.         Peniadaan, yang dimaksud adalah meniadakan dari Allah  seluruh nama dan sifat yang telah ditiadakan oleh Allah  dan Rasul-Nya. Meniadakan pula semua penyerupaan dengan nama dan sifat makhluk. Jika ada keserupaan dari sisi asal makna kata namun hakikatnya tetaplah berbeda. Jadi, yang ditiadakan adalah keserupaan dari segala sisi, bukan pada sebagiannya.
Dalil syar’i penetapan dan peniadaan ini, di antaranya adalah firman Allah , “Hanya milik Allah nama-nama yang paling baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mengenai nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan atas segala yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf : 180)
2.         Prinsip dalam Menetapkan Nama dan Sifat bagi Allah
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, Ahlus Sunnah menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah . Tidak diragukan lagi, bahwa menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah  haruslah dengan prinsip-prinsip yang benar. Ahlus Sunnah menyucikan nama dan sifat-sifat Allah  tanpa menolaknya dan menetapkannya tanpa menyerupakannya (dengan nama dan sifat-sifat makhluk). Ada 4 perkara yang diingkari oleh Ahlus Sunnah dalam menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah , sebagai berikut:
a. At-Tahrif, secara bahasa bermakna menyimpangkan sesuatu dari hakikat, bentuk, dan kebenarannya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah memalingkan sebuah ucapan dari makna zhahir-nya yang semula dipahami, kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh rangkaian kalimatnya.
Perbuatan At-Tahrif terbagi kepada dua jenis:
1)         At-Tahrif yang dilakukan pada teks lafadz. Jenis yang ini terbagi kepada tiga bentuk:
a)         Mengubah harakatnya. Di antaranya seperti bacaan dari sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah :
وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa`: 164)
Mereka membacanya dengan memberi harakat fathah pada kata ( اللهَ ) dengan tujuan untuk mengubah maknanya,
yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam yang mengajak Allah  untuk berbicara, bukan sebaliknya.
b)         Menambahkan hurufnya, yang demikian itu seperti men-tahrif bacaan اسْتَوَى yang artinya tinggi, menjadi اسْتَوْلَى yang artinya berkuasa.
c)         Menambahkan kalimatnya, yang demikian itu seperti menambahkan kata (الرَّحْمَةُ) yang artinya rahmat, pada firman Allah وَجَاءَ رَبُّكَ yang artinya “telah datang Rabbmu”, sehingga menjadi وَجَاءَ رَحْمَةُ رَبِّكَ yang artinya “telah datang rahmat Rabbmu.”
2)         At-Tahrif yang dilakukan pada makna kata tanpa mengubah harakat dan lafadznya.
Contohnya seperti ucapan sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah : “Bahkan kedua tangan-Nya terbentang.”(Al-Ma`idah: 64)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan-Nya adalah kekuasaan atau nikmat-Nya, atau yang selain itu.
Di sini perlu ditegaskan bahwa ahli bid’ah yang suka melakukan At-Tahrif tidak menamakannya dengan At-Tahrif, tetapi menyebutnya sebagai At-Ta`wil yang artinya menafsirkan. Hal ini karena mereka tahu bahwa kata At-Tahrif berkonotasi jelek dan tercela di dalam Al-Qur`an. Sebagaimana firman Allah : “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS. An-Nisa`: 46)
Pada ayat di atas Allah  menisbatkan perbuatan At-Tahrif kepada kaum Yahudi. Ini menunjukkan bahwa konotasi maknanya adalah jelek. Mereka mengganti istilah At-Tahrif dengan istilah At-Ta`wil agar lebih diterima oleh banyak kalangan, dan dalam rangka melariskan dagangan kebid’ahan mereka di antara orang-orang yang tidak bisa membedakan antara keduanya.
b.         At-Ta’thil, secara bahasa maknanya meninggalkan dan mengosongkan. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menolak makna yang benar di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. At-Ta’thil terbagi kepada dua jenis:
1)         At-Ta’thil yang bersifat global, yaitu menolak nama dan sifat-sifat Allah  secara menyeluruh, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Jahmiyyah, Al-Qaramithah, para ahli filsafat, dan yang selain mereka.
2)         At-Ta’thil yang bersifat parsial, yaitu menolak sebagian dan menetapkan sebagian yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah dan menetapkan nama-nama-Nya.
Demikian pula kelompok Al-Asya’irah, Al-Kullabiyyah, dan Al-Maturidiyyah yang menolak sebagian sifat Allah  dan menetapkan sebagian yang lainnya.
c.         At-Tamtsil, secara bahasa maknanya menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah meyakini bahwa sifat-sifat Allah yang Maha Pencipta serupa dengan sifat-sifat makhluk ciptaan-Nya. At-Tamtsil terbagi dua jenis:
1)         Menyerupakan makhluk dengan Dzat Yang Maha Pencipta, yaitu menetapkan untuk makhluk sesuatu yang telah menjadi kekhususan Dzat yang Maha Pencipta. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah Allah .
2)         Menyerupakan Dzat yang Maha Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya, yaitu menetapkan untuk Dzat yang Maha Pencipta sesuatu yang telah menjadi kekhususan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi ketika mereka mengatakan bahwa Allah  adalah Dzat yang faqir, pelit, dan lemah.
d.         At-Takyif, maknanya meyakini sifat-sifat Allah  dalam bentuk tertentu yang dibayangkan di alam pikiran, atau menanyakan bagaimana bentuknya walaupun tanpa menyerupakannya dengan sesuatu yang wujud.
Berarti At-Takyif berbeda dari At-Tamtsil dari satu sisi dan sama dari sisi yang lainnya. Perbedaan keduanya, At-Takyif menyerupakan sifat-sifat Allah  dengan sesuatu yang tak ada wujudnya di luar alam pikiran, sedangkan At-Tamtsil menyerupakan sifat-sifat Allah  dengan sesuatu yang ada wujudnya di luar alam pikiran. Adapun kesamaannya, keduanya sama-sama perbuatan menyerupakan Allah  dengan yang selainnya. Sehingga setiap orang yang melakukan At-Tamtsil pasti melakukan pula At-Takyif, tetapi tidak sebaliknya.
3.         Kelompok-kelompok yang menyimpang
Secara garis besar, kelompok-kelompok yang menyimpang dalam perkara nama dan sifat Allah  terbagi menjadi 2 golongan:
a. Al-Mu’aththilah, yaitu orang-orang yang mengingkari nama dan sifat-sifat Allah , baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Mereka mengingkari karena keyakinan bahwa menetapkannya berarti menyerupakan Allah  dengan makhluk-Nya. Keyakinan mereka ini adalah batil dan bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Untuk membuktikan kebatilan keyakinan mereka, bisa dilihat dari beberapa sisi, di antaranya:
1)         Keyakinan mereka ini mengandung beberapa konsekuensi yang batil, di antaranya berkonsekuensi terjadinya kontradiksi di antara firman-firman Allah . Pada sebagian ayat, Allah  menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Dzat-Nya. Pada ayat yang lain, Allah  meniadakan penyerupaan-Nya dengan yang selain-Nya. Jika menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah  berarti menyerupakan Allah  dengan makhluk-Nya, maka telah terjadi kontradiksi di antara firman-firman Allah , dan sebagiannya telah mendustakan sebagian yang lain.
2)         Kesamaan antara dua hal dalam perkara nama atau sifat, tidaklah menuntut keserupaan antara hakikat keduanya dari segala sisi. Kita bisa melihat dua orang yang sama-sama disebut dengan manusia, mendengar dan melihat. Namun bukan berarti keduanya sama dalam sifat kemanusiaan, pendengaran, dan penglihatan dari segala sisi. Pasti sifat-sifat yang dimiliki oleh keduanya sangat berbeda hakikatnya. Bila perbedaan hakikat nama dan sifat terjadi di kalangan makhluk walaupun ada kesamaan pada sebagian sisi, maka perbedaan hakikat nama dan sifat antara Allah  dan makhluk-Nya tentu lebih nyata dan lebih besar.
b.         Al-Musyabbihah, yaitu orang-orang yang menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah  tetapi menyerupakan dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Mereka menyerupakannya karena berkeyakinan bahwa hal itu merupakan kandungan makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tentunya Allah  mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami. Kita meyakini bahwa keyakinan mereka ini adalah batil. Bisa dibuktikan kebatilan keyakinan mereka dari beberapa sisi, di antaranya:
1)         Menyerupakan Allah  dengan makhluk-Nya adalah kebatilan yang ditolak oleh naluri logika dan syariat. Sebab, kandungan-kandungan makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak mungkin merupakan perkara yang batil.
2)         Bahwasanya Allah  mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami dari sisi asal makna kata atau kalimat. Adapun bentuk dan hakikat yang berkaitan dengan nama dan sifat-sifat Allah  tidaklah mereka ketahui, dan ilmunya hanya di sisi Allah . Sebagai contoh, ketika Allah  menetapkan sifat ‘mendengar’ dan ‘melihat’ bagi Dzat-Nya, niscaya kita bisa memahami maksud kata ‘mendengar’ dan ‘melihat’ dari sisi asal makna kata. ‘Mendengar’ artinya mampu menangkap segala suara dan ‘melihat’ artinya mampu menangkap apa saja yang bisa dilihat. Namun tak seorang pun di antara manusia yang dapat mengetahui hakikat pendengaran dan penglihatan Allah . Oleh karena itu, hakikat sifat mendengar dan melihat yang ada di kalangan manusia berbeda dengan hakikat sifat mendengar dan melihat yang dimiliki oleh Allah .
4.         Al-Ilhad dalam Masalah Nama dan Sifat Allah
Al-Ilhad secara bahasa maknanya miring atau menyimpang dari sesuatu. Disebut liang lahad dalam kuburan dengan nama itu karena lubangnya berada di bagian samping dari kuburan dan bukan di tengahnya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menyimpang dari syariat yang lurus kepada salah satu bentuk kekafiran.
Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah  artinya menyimpang dari kebenaran yang wajib untuk ditetapkan pada nama dan sifat-sifat-Nya. Allah  berfirman, “Hanya milik Allah nama-nama yang baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam perkara nama-nama-Nya. Niscaya mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180)
Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah  terbagi kepada lima jenis, sebagai berikut:
a.         Menetapkan bagi Allah  sebuah nama atau lebih, yang tidak ditetapkan oleh Allah  bagi Dzat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli filsafat ketika mereka menamakan Allah  dengan sebutan, (عِلَّةٌ فَاعِلَةٌ) yang artinya unsur pembuat. Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka menamakan Allah  dengan sebutan tuhan bapak dan menamakan Nabi ‘Isa dengan sebutan tuhan anak. Semua ini adalah penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah .
Sepantasnya juga kaum muslimin menghindari memanggil nama Allah dengan sebutan ‘Gusti’ atau ‘Pangeran’, seperti ucapan: “Duh Gusti ampunilah aku,” atau “Wahai Pangeran tolonglah aku.” Hal ini sebaiknya dihindari, karena dikhawatirkan termasuk dalam bentuk penamaan terhadap Allah  dengan sesuatu yang Allah  tidak menamai diri-Nya dengannya, dan tidak pula dinamai oleh Rasul-Nya. Karena nama dan sifat Allah  adalah perkara tauqifiyyah, yakni tidak bisa ditetapkan kecuali dengan pemberitaan dari Allah  dan Rasul-Nya. Bila kita menamakan Allah  dengan sesuatu yang tidak Allah  tetapkan bagi Dzat-Nya, berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
b.         Mengingkari satu nama atau lebih, yang telah ditetapkan oleh Allah  bagi Dzat-Nya. Perbuatan ini adalah kebalikan dari yang pertama. Maka pengingkaran terhadap nama-nama Allah  baik secara keseluruhan atau sebagian merupakan perbuatan Al-Ilhad. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia yang menolak nama-nama Allah  seperti kelompok Al-Jahmiyyah. Mereka mengingkari dan menolak nama-nama Allah  dengan alasan agar tidak menyerupakan Allah  murni dan tidak bisa diterima. Bila Allah  telah menetapkan sebuah nama bagi Dzat-Nya maka kita harus menetapkannya pula dan tak ada alasan untuk menolaknya. Jika kita mengingkari atau menolaknya berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
c. Menetapkan nama-nama Allah  tetapi mengingkari sifat-sifat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Al-Mu’tazilah. Sebagai contoh, mereka menetapkan bahwa Allah  adalah Dzat Yang Maha Mendengar namun tanpa pendengaran, Maha Melihat namun tanpa penglihatan, Maha Mengetahui namun tanpa ilmu, Maha Kuasa namun tanpa kekuasaan, dan seterusnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa nama-nama Allah  yang banyak itu pada hakikatnya hanyalah satu nama saja, tidak lebih. Pendapat-pendapat mereka ini sangat tidak logis bagi siapa saja yang memiliki akal pikiran. Terlebih lagi jika diukur dengan penilaian Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidaklah ditetapkan sebuah nama pada sesuatu melainkan karena dia memiliki sifat yang sesuai dengan namanya. Dan setiap nama pasti menunjukkan kepada suatu sifat yang sesuai dengannya. Maka bagaimana mungkin dinyatakan bahwa nama-nama yang banyak pada hakikatnya hanya menunjukkan pada satu nama? Ini jelas penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah .
d.         Menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah  tetapi juga menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Hal ini sebagaimana dilakukan kelompok Al-Musyabbihah. Seharusnya kita menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah  tanpa menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Jika tidak, berarti kita telah melakukan penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah . Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
e.         Mengambil pecahan kata dari nama-nama Allah  lalu menjadikannya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah . Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin di masa jahiliah. Mereka menamakan sebagian berhala mereka dengan pecahan kata yang diambil dari nama Allah . Seperti, Al-Laatta yang diambil dari nama Allah  Al-Ilah, Al-’Uzza yang diambil dari nama Allah Al-’Aziz, Al-Manaat yang diambil dari nama Allah Al-Mannan. Ini adalah penyimpangan dalam menggunakan nama-nama Allah . Seharusnya nama-nama Allah  menjadi perkara yang khusus bagi Allah  dan tidak mengambil pecahan-pecahan katanya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah . Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
Demikianlah jenis-jenis penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah . Ahlus Sunnah tidak berbuat Al-Ilhad (penyimpangan), bahkan mereka menyikapi nama dan sifat-sifat Allah  sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah  sendiri. Mereka menetapkan pula seluruh makna yang telah ditunjukkan oleh nama dan sifat-sifat Allah  itu, karena mereka meyakini bahwa menyelisihi prinsip ini merupakan perbuatan Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah .
5.         Buah Keimanan kepada Nama dan Sifat Allah
Beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah  bukan suatu perkara yang sia-sia, bahkan ini adalah hal yang sangat bermanfaat, antara lain:
1. Merealisasikan tauhid kepada Allah , sehingga seorang hamba tidak menggantungkan harapan, rasa takut, dan ibadahnya kepada yang selain Allah .
2. Menyempurnakan rasa cinta dan pengagungan kepada Allah  sesuai dengan kandungan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
3.         Merealisasikan peribadahan kepada Allah  dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Demikianlah yang bisa kita tuliskan di sini, semoga bermanfaat bagi segenap kaum muslimin. Wallohua’lam bis shawab.
Rujukan : Syarah Tslalatsatul Ushul karya Syaikh ‘Utsaimin, Syarah Al-’Aqidah washithiyah karya Dr. Shaleh Al-Fauzan, dsbg.

0 komentar:

Posting Komentar