بسم الله الرحمن
الرحيم
Bismillah..Pembaca
yang budiman, mungkin banyak diantara kita yang belum paham bahwa Allah memiliki
banyak nama dan sifat. Namun tentu saja nama dan sifat Allah berbeda
dengan nama dan sifat makhluk-Nya, karena tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia. Di antara perbedaannya, nama dan sifat Allah penuh dengan
kesempurnaan, sedangkan nama dan sifat makhluk mengandung banyak kekurangan.
Pemahaman yang benar tentang nama dan sifat Allah akan memberi dampak
yang besar terhadap keimanan seseorang. Sebaliknya, pemahaman yang keliru bisa
menyebabkan seseorang kufur kepada Allah .
1.
Definisi
Yang
dimaksud dengan tauhid ini ialah mengesakan Allah dengan seluruh nama dan
sifat yang dimiliki-Nya. Keyakinan ini mengandung dua perkara:
a.
Penetapan, yang dimaksud adalah menetapkan bagi Allah seluruh nama dan
sifat-Nya. Maka tidaklah kita menetapkan nama bagi Allah kecuali dengan
nama yang Allah tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya .
Demikian pula tidaklah kita menetapkan sifat bagi Allah kecuali dengan
sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya .
b.
Peniadaan, yang dimaksud adalah meniadakan dari Allah seluruh nama dan
sifat yang telah ditiadakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Meniadakan pula
semua penyerupaan dengan nama dan sifat makhluk. Jika ada keserupaan dari sisi
asal makna kata namun hakikatnya tetaplah berbeda. Jadi, yang ditiadakan adalah
keserupaan dari segala sisi, bukan pada sebagiannya.
Dalil syar’i
penetapan dan peniadaan ini, di antaranya adalah firman Allah , “Hanya
milik Allah nama-nama yang paling baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan
menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran mengenai nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan atas
segala yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf : 180)
2.
Prinsip dalam Menetapkan Nama dan Sifat bagi Allah
Berdasarkan
dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, Ahlus Sunnah menetapkan nama dan
sifat-sifat bagi Allah . Tidak diragukan lagi, bahwa menetapkan nama dan
sifat-sifat bagi Allah haruslah dengan prinsip-prinsip yang benar. Ahlus
Sunnah menyucikan nama dan sifat-sifat Allah tanpa menolaknya dan
menetapkannya tanpa menyerupakannya (dengan nama dan sifat-sifat makhluk). Ada
4 perkara yang diingkari oleh Ahlus Sunnah dalam menetapkan nama dan
sifat-sifat bagi Allah , sebagai berikut:
a. At-Tahrif,
secara bahasa bermakna menyimpangkan sesuatu dari hakikat, bentuk, dan
kebenarannya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah memalingkan
sebuah ucapan dari makna zhahir-nya yang semula dipahami, kepada makna lain
yang tidak ditunjukkan oleh rangkaian kalimatnya.
Perbuatan
At-Tahrif terbagi kepada dua jenis:
1)
At-Tahrif yang dilakukan pada teks lafadz. Jenis yang ini terbagi kepada tiga
bentuk:
a)
Mengubah harakatnya. Di antaranya seperti bacaan dari sebagian ahli bid’ah
terhadap firman Allah :
وَكَلَّمَ اللهُ
مُوْسَى تَكْلِيْمًا
“Dan Allah
telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa`: 164)
Mereka
membacanya dengan memberi harakat fathah pada kata ( اللهَ ) dengan tujuan untuk mengubah
maknanya,
yaitu Nabi
Musa ‘alaihissalam yang mengajak Allah untuk berbicara, bukan sebaliknya.
b)
Menambahkan hurufnya, yang demikian itu seperti men-tahrif bacaan اسْتَوَى yang artinya tinggi, menjadi اسْتَوْلَى yang artinya berkuasa.
c)
Menambahkan kalimatnya, yang demikian itu seperti menambahkan kata (الرَّحْمَةُ) yang artinya rahmat, pada firman Allah
وَجَاءَ رَبُّكَ
yang artinya “telah datang Rabbmu”, sehingga menjadi وَجَاءَ رَحْمَةُ رَبِّكَ yang artinya
“telah datang rahmat Rabbmu.”
2)
At-Tahrif yang dilakukan pada makna kata tanpa mengubah harakat dan lafadznya.
Contohnya
seperti ucapan sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah : “Bahkan kedua
tangan-Nya terbentang.”(Al-Ma`idah: 64)
Mereka
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan-Nya adalah kekuasaan atau
nikmat-Nya, atau yang selain itu.
Di sini
perlu ditegaskan bahwa ahli bid’ah yang suka melakukan At-Tahrif tidak
menamakannya dengan At-Tahrif, tetapi menyebutnya sebagai At-Ta`wil yang
artinya menafsirkan. Hal ini karena mereka tahu bahwa kata At-Tahrif
berkonotasi jelek dan tercela di dalam Al-Qur`an. Sebagaimana firman Allah : “Yaitu
orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS.
An-Nisa`: 46)
Pada ayat di
atas Allah menisbatkan perbuatan At-Tahrif kepada kaum Yahudi. Ini
menunjukkan bahwa konotasi maknanya adalah jelek. Mereka mengganti istilah
At-Tahrif dengan istilah At-Ta`wil agar lebih diterima oleh banyak kalangan,
dan dalam rangka melariskan dagangan kebid’ahan mereka di antara orang-orang
yang tidak bisa membedakan antara keduanya.
b.
At-Ta’thil, secara bahasa maknanya meninggalkan dan mengosongkan. Adapun
menurut istilah syariat, maknanya adalah menolak makna yang benar di dalam
Al-Qur`an dan As-Sunnah. At-Ta’thil terbagi kepada dua jenis:
1)
At-Ta’thil yang bersifat global, yaitu menolak nama dan sifat-sifat Allah
secara menyeluruh, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Jahmiyyah,
Al-Qaramithah, para ahli filsafat, dan yang selain mereka.
2)
At-Ta’thil yang bersifat parsial, yaitu menolak sebagian dan menetapkan
sebagian yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Mu’tazilah yang
menolak sifat-sifat Allah dan menetapkan nama-nama-Nya.
Demikian
pula kelompok Al-Asya’irah, Al-Kullabiyyah, dan Al-Maturidiyyah yang menolak
sebagian sifat Allah dan menetapkan sebagian yang lainnya.
c.
At-Tamtsil, secara bahasa maknanya menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang
lain. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah meyakini bahwa
sifat-sifat Allah yang Maha Pencipta serupa dengan sifat-sifat makhluk
ciptaan-Nya. At-Tamtsil terbagi dua jenis:
1)
Menyerupakan makhluk dengan Dzat Yang Maha Pencipta, yaitu menetapkan untuk
makhluk sesuatu yang telah menjadi kekhususan Dzat yang Maha Pencipta. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka mengatakan bahwa
Nabi ‘Isa adalah Allah .
2)
Menyerupakan Dzat yang Maha Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya, yaitu
menetapkan untuk Dzat yang Maha Pencipta sesuatu yang telah menjadi kekhususan
makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi ketika mereka
mengatakan bahwa Allah adalah Dzat yang faqir, pelit, dan lemah.
d.
At-Takyif, maknanya meyakini sifat-sifat Allah dalam bentuk tertentu yang
dibayangkan di alam pikiran, atau menanyakan bagaimana bentuknya walaupun tanpa
menyerupakannya dengan sesuatu yang wujud.
Berarti
At-Takyif berbeda dari At-Tamtsil dari satu sisi dan sama dari sisi yang
lainnya. Perbedaan keduanya, At-Takyif menyerupakan sifat-sifat Allah
dengan sesuatu yang tak ada wujudnya di luar alam pikiran, sedangkan
At-Tamtsil menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sesuatu yang ada
wujudnya di luar alam pikiran. Adapun kesamaannya, keduanya sama-sama perbuatan
menyerupakan Allah dengan yang selainnya. Sehingga setiap orang yang
melakukan At-Tamtsil pasti melakukan pula At-Takyif, tetapi tidak sebaliknya.
3.
Kelompok-kelompok yang menyimpang
Secara garis
besar, kelompok-kelompok yang menyimpang dalam perkara nama dan sifat Allah
terbagi menjadi 2 golongan:
a.
Al-Mu’aththilah, yaitu orang-orang yang mengingkari nama dan sifat-sifat Allah
, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Mereka mengingkari karena keyakinan
bahwa menetapkannya berarti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Keyakinan mereka ini adalah batil dan bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur`an
dan As-Sunnah. Untuk membuktikan kebatilan keyakinan mereka, bisa dilihat dari
beberapa sisi, di antaranya:
1)
Keyakinan mereka ini mengandung beberapa konsekuensi yang batil, di antaranya
berkonsekuensi terjadinya kontradiksi di antara firman-firman Allah . Pada
sebagian ayat, Allah menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Dzat-Nya. Pada
ayat yang lain, Allah meniadakan penyerupaan-Nya dengan yang selain-Nya.
Jika menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah berarti menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya, maka telah terjadi kontradiksi di antara
firman-firman Allah , dan sebagiannya telah mendustakan sebagian yang lain.
2)
Kesamaan antara dua hal dalam perkara nama atau sifat, tidaklah menuntut
keserupaan antara hakikat keduanya dari segala sisi. Kita bisa melihat dua
orang yang sama-sama disebut dengan manusia, mendengar dan melihat. Namun bukan
berarti keduanya sama dalam sifat kemanusiaan, pendengaran, dan penglihatan
dari segala sisi. Pasti sifat-sifat yang dimiliki oleh keduanya sangat berbeda
hakikatnya. Bila perbedaan hakikat nama dan sifat terjadi di kalangan makhluk
walaupun ada kesamaan pada sebagian sisi, maka perbedaan hakikat nama dan sifat
antara Allah dan makhluk-Nya tentu lebih nyata dan lebih besar.
b.
Al-Musyabbihah, yaitu orang-orang yang menetapkan nama dan sifat-sifat bagi
Allah tetapi menyerupakan dengan nama dan sifat-sifat para makhluk.
Mereka menyerupakannya karena berkeyakinan bahwa hal itu merupakan kandungan
makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tentunya Allah
mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami. Kita
meyakini bahwa keyakinan mereka ini adalah batil. Bisa dibuktikan kebatilan
keyakinan mereka dari beberapa sisi, di antaranya:
1)
Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah kebatilan yang ditolak oleh
naluri logika dan syariat. Sebab, kandungan-kandungan makna yang terdapat di
dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak mungkin merupakan perkara yang
batil.
2)
Bahwasanya Allah mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka
pahami dari sisi asal makna kata atau kalimat. Adapun bentuk dan hakikat yang
berkaitan dengan nama dan sifat-sifat Allah tidaklah mereka ketahui, dan
ilmunya hanya di sisi Allah . Sebagai contoh, ketika Allah menetapkan
sifat ‘mendengar’ dan ‘melihat’ bagi Dzat-Nya, niscaya kita bisa memahami
maksud kata ‘mendengar’ dan ‘melihat’ dari sisi asal makna kata. ‘Mendengar’
artinya mampu menangkap segala suara dan ‘melihat’ artinya mampu menangkap apa
saja yang bisa dilihat. Namun tak seorang pun di antara manusia yang dapat
mengetahui hakikat pendengaran dan penglihatan Allah . Oleh karena itu, hakikat
sifat mendengar dan melihat yang ada di kalangan manusia berbeda dengan hakikat
sifat mendengar dan melihat yang dimiliki oleh Allah .
4.
Al-Ilhad dalam Masalah Nama dan Sifat Allah
Al-Ilhad
secara bahasa maknanya miring atau menyimpang dari sesuatu. Disebut liang lahad
dalam kuburan dengan nama itu karena lubangnya berada di bagian samping dari
kuburan dan bukan di tengahnya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah
menyimpang dari syariat yang lurus kepada salah satu bentuk kekafiran.
Al-Ilhad
dalam perkara nama dan sifat Allah artinya menyimpang dari kebenaran yang
wajib untuk ditetapkan pada nama dan sifat-sifat-Nya. Allah berfirman, “Hanya
milik Allah nama-nama yang baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut
nama-nama yang baik itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran dalam perkara nama-nama-Nya. Niscaya mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180)
Al-Ilhad
dalam perkara nama dan sifat Allah terbagi kepada lima jenis, sebagai
berikut:
a.
Menetapkan bagi Allah sebuah nama atau lebih, yang tidak ditetapkan oleh
Allah bagi Dzat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli
filsafat ketika mereka menamakan Allah dengan sebutan, (عِلَّةٌ فَاعِلَةٌ) yang artinya
unsur pembuat. Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka
menamakan Allah dengan sebutan tuhan bapak dan menamakan Nabi ‘Isa dengan
sebutan tuhan anak. Semua ini adalah penyimpangan dalam perkara nama dan sifat
Allah .
Sepantasnya
juga kaum muslimin menghindari memanggil nama Allah dengan sebutan ‘Gusti’ atau
‘Pangeran’, seperti ucapan: “Duh Gusti ampunilah aku,” atau “Wahai Pangeran
tolonglah aku.” Hal ini sebaiknya dihindari, karena dikhawatirkan termasuk
dalam bentuk penamaan terhadap Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menamai diri-Nya dengannya, dan tidak pula dinamai oleh Rasul-Nya.
Karena nama dan sifat Allah adalah perkara tauqifiyyah, yakni tidak bisa
ditetapkan kecuali dengan pemberitaan dari Allah dan Rasul-Nya. Bila kita
menamakan Allah dengan sesuatu yang tidak Allah tetapkan bagi
Dzat-Nya, berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan
perbuatan Al-Ilhad.
b.
Mengingkari satu nama atau lebih, yang telah ditetapkan oleh Allah bagi
Dzat-Nya. Perbuatan ini adalah kebalikan dari yang pertama. Maka pengingkaran
terhadap nama-nama Allah baik secara keseluruhan atau sebagian merupakan
perbuatan Al-Ilhad. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia
yang menolak nama-nama Allah seperti kelompok Al-Jahmiyyah. Mereka
mengingkari dan menolak nama-nama Allah dengan alasan agar tidak
menyerupakan Allah murni dan tidak bisa diterima. Bila Allah telah
menetapkan sebuah nama bagi Dzat-Nya maka kita harus menetapkannya pula dan tak
ada alasan untuk menolaknya. Jika kita mengingkari atau menolaknya berarti kita
telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
c.
Menetapkan nama-nama Allah tetapi mengingkari sifat-sifat-Nya. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Al-Mu’tazilah. Sebagai contoh, mereka
menetapkan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Mendengar namun tanpa
pendengaran, Maha Melihat namun tanpa penglihatan, Maha Mengetahui namun tanpa
ilmu, Maha Kuasa namun tanpa kekuasaan, dan seterusnya. Sebagian mereka
mengatakan bahwa nama-nama Allah yang banyak itu pada hakikatnya hanyalah
satu nama saja, tidak lebih. Pendapat-pendapat mereka ini sangat tidak logis
bagi siapa saja yang memiliki akal pikiran. Terlebih lagi jika diukur dengan
penilaian Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidaklah ditetapkan sebuah nama pada sesuatu
melainkan karena dia memiliki sifat yang sesuai dengan namanya. Dan setiap nama
pasti menunjukkan kepada suatu sifat yang sesuai dengannya. Maka bagaimana
mungkin dinyatakan bahwa nama-nama yang banyak pada hakikatnya hanya
menunjukkan pada satu nama? Ini jelas penyimpangan dalam perkara nama dan sifat
Allah .
d.
Menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah tetapi juga menyerupakannya
dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Hal ini sebagaimana dilakukan
kelompok Al-Musyabbihah. Seharusnya kita menetapkan nama dan sifat-sifat bagi
Allah tanpa menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk.
Jika tidak, berarti kita telah melakukan penyimpangan dalam perkara nama dan
sifat Allah . Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
e.
Mengambil pecahan kata dari nama-nama Allah lalu menjadikannya sebagai
nama untuk sesembahan selain Allah . Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh
kaum musyrikin di masa jahiliah. Mereka menamakan sebagian berhala mereka
dengan pecahan kata yang diambil dari nama Allah . Seperti, Al-Laatta yang
diambil dari nama Allah Al-Ilah, Al-’Uzza yang diambil dari nama Allah
Al-’Aziz, Al-Manaat yang diambil dari nama Allah Al-Mannan. Ini adalah
penyimpangan dalam menggunakan nama-nama Allah . Seharusnya nama-nama Allah menjadi
perkara yang khusus bagi Allah dan tidak mengambil pecahan-pecahan
katanya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah . Ini merupakan perbuatan
Al-Ilhad.
Demikianlah
jenis-jenis penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah . Ahlus Sunnah
tidak berbuat Al-Ilhad (penyimpangan), bahkan mereka menyikapi nama dan
sifat-sifat Allah sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah sendiri.
Mereka menetapkan pula seluruh makna yang telah ditunjukkan oleh nama dan
sifat-sifat Allah itu, karena mereka meyakini bahwa menyelisihi prinsip
ini merupakan perbuatan Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah .
5.
Buah Keimanan kepada Nama dan Sifat Allah
Beriman
kepada nama dan sifat-sifat Allah bukan suatu perkara yang sia-sia,
bahkan ini adalah hal yang sangat bermanfaat, antara lain:
1.
Merealisasikan tauhid kepada Allah , sehingga seorang hamba tidak
menggantungkan harapan, rasa takut, dan ibadahnya kepada yang selain Allah .
2.
Menyempurnakan rasa cinta dan pengagungan kepada Allah sesuai dengan
kandungan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
3.
Merealisasikan peribadahan kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya.
Demikianlah
yang bisa kita tuliskan di sini, semoga bermanfaat bagi segenap kaum muslimin.
Wallohua’lam bis shawab.
Rujukan :
Syarah Tslalatsatul Ushul karya Syaikh ‘Utsaimin, Syarah Al-’Aqidah washithiyah
karya Dr. Shaleh Al-Fauzan, dsbg.
0 komentar:
Posting Komentar