9 Agustus 2012

Akhlaq mulia antara Alami dan Usaha


Sebagaimana akhlaq merupakan sebuah tabiat atau ketetapan asli, akhlaq juga bisa diperoleh atau diupayakan dengan jalan berusaha. Maksudnya, bahwa seorang manusia sebagaimana telah ditetapkan padanya akhlaq yang baik dan bagus, sesungguhnya memungkinkan juga baginya untuk berperilaku dengan akhlaq yang baik dengan jalan berusaha dan berupaya untuk membiasakannya. Untuk itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada Asyajj 'Abdul Qais:
"Sesungguhnya dalam dirimu ada dua sifat yang Allah sukai; sifat santun dan tidak tergesa-gesa"
Ia berkata: ”Wahai Rasulullah, Apakah kedua akhlaq tersebut merupakan hasil usahaku, atau Allah-kah yang telah menetapkan keduanya padaku?” Beliau menjawab: "Allahlah yang telah mengaruniakan keduanya padamu".
Kemudian ia berkata: ”Segala puji bagi Allah yang telah memberiku dua akhlaq yang dicintai oleh-Nya dan oleh Rasul-Nya”.[1]
Maka, hal ini menunjukan bahwa akhlaq terpuji dan mulia bisa berupa perilaku alami (yakni karunia dari Allah Subhanahu waTa’ala kepada hamba-Nya-pent) dan juga dapat berupa sifat yang dapat diusahakan atau diupayakan.
Akan tetapi, tidak diragukan lagi bahwa sifat yang alami tentu lebih baik dari sifat yang diusahakan. Karena akhlaq yang baik jika bersifat alami akan menjadi perangai dan kebiasaan bagi seseorang. Ia tidak membutuhkan sikap berlebih-lebihan dalam membiasakannya. Juga tidak membutuhkan tenaga dan kesulitan dalam menghadirkannya. Akan tetapi, ini adalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Ia diberikan kepada seorang hamba yang dikehendaki oleh-Nya, barang siapa yang terhalang dari hal ini – yakni terhalang dari akhlaq tersebut secara tabiat alami –, maka sangat mungkin baginya untuk memperolehnya dengan jalan berusaha dan berupaya untuk membiasakannya. Yaitu dengan cara membiasakan dan melakukannya terus-menerus, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti Insya Allah. Siapakah Yang Lebih Utama?
Dari sini timbul pertanyaan, yaitu: Siapakah yang lebih utama, seseorang yang telah dikaruniakan padanya akhlaq yang terpuji, dan seseorang yang bersungguh-sungguh berusaha dan berupaya agar dapat memperoleh akhlaq tersebut. Manakah di antara keduanya yang lebih tinggi kedudukannya?. Maka, kami berkata sebagai jawaban dari pertanyaan ini: Sesungguhnya tidak diragukan lagi, bahwa seseorang yang telah diberikan padanya akhlaq yang baik tentu lebih sempurna jika dilihat dari segi perilakunya yang memang sudah seperti itu, ataupun dilihat dari sisi telah tertanamnya akhlaq yang baik tersebut pada dirinya. Karena dia tidak akan merasa kepayahan dan kesulitan ketika menghadirkannya, dan juga tidak akan hilang darinya akhlaq tersebut meskipun ia berada dimanapun juga, karena memang akhlaq yang baik telah menjadi perangai dan tabiat aslinya. Kapanpun engkau bertemu dengannya pasti akan mendapatinya baik akhlaqnya, dan dalam keadaan bagaimanapun juga engkau bertatap muka dengannya, pasti akan menemuinya terpuji perilakunya. Maka, dari sisi yang satu ini dia tentu lebih sempurna tanpa diragukan lagi.
Adapun yang satunya lagi, ia telah bersungguh-sungguh berjuang melawan dan melatih dirinya untuk dapat berperilaku baik. Maka, tidak diragukan lagi bahwa dia mendapat pahala dari sisi perjuangannnya dalam melawan dirinya, dan tentu saja dia lebih utama dari sisi yang ini. Akan tetapi bagaimanapun juga, jika ditinjau dari segi kesempurnaan akhlaq, tentu saja dia kurang sempurna dari figur yang pertama. Adapun jika ada seseorang yang mendapatkan karunia tersebut kedua-keduanya, yaitu secara alami dan setelah berusaha dan berupaya, tentu saja dia akan lebih sempurna lagi. Jadi ringkasnya, seseorang dalam masalah ini terbagi menjadi empat golongan:
1. Orang yang terhalang untuk mendapatkan akhlaq yang mulia, baik secara alami maupun dengan jalan usaha dan upaya.
2. Orang yang terhalang dari hal tersebut secara alami, akan tetapi ia dapat berusaha untuk memilikinya.
3. Orang yang dikaruniai keduanya.
4. Orang yang mempunyai akhlaq secara alami, akan tetapi terhalang dari usaha dan upaya untuk memilikinya.
Dan tentu saja tidak diragukan lagi, bahwa golongan yang ketiga adalah yang paling utama, karena ia menyatukan antara keduanya dalam kemuliaan akhlaqnya.[2]

Sumber: Syeikh Muhammad sholih Hutsaimin kitab, Akhlaqul Karimah. Yang diterjemahkan Abu Musa al-Atsari


[1] Dikeluarkan oleh Abu Daud, No (5225) di Kitaabul Adab, dan Ahmad (4 / 206). Imam
Muslim hanya mengeluarkan bagian yang pertama saja, No (25 & 26) di Kitaabul Iimaan,
juga oleh Imam Tirmidzi, No (2011) di Kitaabul Bir Wash Shilah.
[2] Ibnul Qayyim Rahimahullahu berpendapat bahwa semua akhlak mulia terlahir dari dua perkara:
1. Ke-khusyu'-kan, dan
2. Tingginya kemauan.
Beliau bertutur dalam kitabnya al-Fawaa-id, Hal (210 & 211): Adapun akhlak-akhlak yang mulia, seperti sabar, berani, adil, perangai yang baik, menjaga kesucian dari hal-hal haram dan memelihara diri darinya, dermawan, santun, suka memberi maaf, suka memberi ampun, rela menanggung beban, mengutamakan orang lain, mulianya diri dari segala perilaku yang hina-dina, rendah diri, rela menerima apa adanya, jujur, ikhlas, membalas kebaikan dengan semisalnya atau bahkan melebihkannya, menutup mata dari kesalahan-kesalahan orang lain, tidak menyibukkan diri dari hal yang tidak ada manfaatnya, dan sikap hati yang selalu mengkritisi akhlak yang tercela dan yang semacamnya. Maka, semua akhlak yang terpuji tersebut tumbuh dari ke-kusyu'-kan dan tingginya kemauan. Dan Allahltelah mengabarkan tentang bumi ini, bahwasanya dahulunya bumi ini khusyu' atau tunduk, kemudian ia diguyur oleh air hujan lalu mulailah ia bergerak. Dan bertambahlah keindahan dan keelokannya. Begitulah pula keadaan manusia jika ia mendapat bagian dari taufiq atau hidayah-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar