FAJRI 99.3 FMe

SUARA KEBANGKITAN ISLAM

STIKER DAKWAH

DENGAN ANDA MENEBARKAN SETIKER INI, BERARTI ANDA TELAH IKUT BERGABUNG BERSAMA KAMI UNTUK MENEBARKAN DAKWAH ISLAMI

HASMI

HAROKAH SUNNIYYAH UNTUK MASYARAKAT ISLAMI.

KAJIAN LIVE

DISIARKAN LANGSUNG DI STUDIO SATU FAJRI FM

KAJIAN MUSLIMAH

RUBRIK SOLUSI BAGI PERMASALAHAN MUSLIMAH

18 Agustus 2012

ucapan hari raya yang benar


Inilah Ucapan Selamat Hari Raya yang Benar Sesuai Sunnah

Segala puji bagi Allah salawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah keluarganya, para sahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.Amma ba'du:ٍُ
Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’alaa.
Pada hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha kita sering mendengar  sebagian kita mengucapkan selamat kepada sebagian lain dengan ucapan yang beraneka ragam. Maka apakah status hukumnya menurut syariat Islam ?
Berikut ini akan kami sampaikan informasi seputar ucapan selamat hari raya yang disarikan dari kitab (Tanwirul Ainain Bi Ahkamil Adzahi Wal Iedain) karangan Syeikh Abul Hasan Mushthafa bin Ismail As Sulaimani hafidzahullah dimana beliau berkata:
Ibnu At-Turkimani telah menyebutkan dalam kitabnya Al-Jauhar An-Naqiy Hasyiah Al-Baihaqi (3/320-321), beliau berkata : Aku berkata : dan dalam bab ini – yakni ucapan selamat hari raya – ada satu hadits yang bagus yang dilupakan Al-Baihaqi, yaitu haditsnya Muhammad bin Ziyad, berkata : ketika itu aku bersama Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu anhu dan sebagian sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang lain, lalu apabila mereka pulang sebagian mengucapkan kepada sebagian lainnya : (Taqabbalallahu minna waminkum) (semoga Allah menerima amal kami dan kalian), Imam Ahmad bin Hanbal berkata : sanadnya baik.
Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam kitab Tamamul Minnah (356): dan beliau tidak menyebutkan siapa yang meriwayatkannya dan Imam Suyuthi telah menyandarkannya juga kepada Zahir dengan sanad yang bagus dari Muhammad bin Ziyad Al-Alhani – dan dia tsiqoh – berkata : lalu beliau menyebutkannya. Dan Zahir dia adalah Ibnu Thahir penulis kitab : (Tuhfatul Iedul Fithri) sebagaimana dikatakan Syeikh Al-Albani.
Dan Ibnu Qudamah telah menukil dalam kitab Al-Mughni (2/259) bahwa Imam Ahmad mengatakan sanadnya baik, Wallahu Alam mengenai derajat para perawi lain yang tidak disebutkan dalam atsar ini, namun aslinya perkataan Imam Ahmad diterima sampai kita menemukan yang menyelisihinya. Wallahu Alam.

Al-Ashbahani telah mengeluarkan riwayat dalam kitabnya At-Targhib Wa At-Tarhib (1/251) dari Shofwan bin Amru As-Saksasi berkata : Aku mendengar ketika diucapkan kepadaAbdullah bin Busr, Abdur Rahman bin Aaidz, Jubair bin Nafir dan Khalid bin Mikdan pada hari- hari raya : (Taqabbalallahu minna waminkum), lalu mereka mengucapkannya kepada yang lain. Dan ini sanad yang cukup baik .

Dan disebutkan dalam kitab Fathul Bari (2/446) : diriwayatkan kepada kami dalam Al-Muhamiliyat dengan sanad yang baik dari Jubair bin Nufair berkata : dahulu para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila mereka bertemu pada hari raya sebagian mengucapkan kepada sebagian lain : (Taqabbalawahu minna waminkum).
Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata : aku tidak menemukan pernyataan dari Ibnu Hajar yang membaguskan sanadnya dalam salah satu kitabnya – meskipun salah seorang penuntut ilmu telah menunjukkan tempatnya – berkata : namun aku menemukannya dari Al-Hafidz As-Suyuthi dalam risalahnya Wushul Al-Amani Fii Wujud At-Tahaani (109) dan dalam satu edisi di perpustakaanku (82) dan kitab Al-Hawi juz 1 dari Al-Hawi Lil Fatawa dan beliau telah menyandarkannya kepada Zahir bin Thahir dalam kitab Tuhfah Al-Iedul Fithri, dan Abu Ahmad Al-Furadzi, dan diriwayatkan Al-Muhamili dalam kitab Al-Iedain (2/ 129) dengan sanad para perawinya tsiqoh, para perawi At-Tahdzib selain Syeikhnya Al-Muhanna bin Yahya dia tsiqoh baik sebagaimana ucapan Ad-Daruquthni, dan biographinya disebutkan dalam Tarikh Baghdad (13/166 – 268), maka sanadnya shahih.
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya : apakah makruh hukumnya seseorang mengucapkan kepada saudaranya apabila pulang dari sholat Ied : Taqabbalallahu minna waminka, waghafarallahu lana walaka (Dan semoga Allah Mengampuni kami dan kalian), dan saudaranya menjawabnya seperti itu ? beliau berkata : tidak makruh. (Al-Muntaqa 1/322).
Dalam kitab Al-Hawi (1/82) Imam Suyuthi berkata : Ibnu Hibban telah mengeluarkan dalam kitab Al-Tsiqot dari Ali bin Tsabit berkata : Aku bertanya kepada Malik tentang ucapan orang-orang pada hari raya : Taqabbalallahu minna waminka, maka beliau berkata : hal itu masih terus berlaku seperti itu ditempat kami.
Dalam kitab Al-Mughni (2/259) beliau berkata : Ali bin Tsabit berkata : Aku bertanya kepada Malik bin Anas sejak tiga puluh lima tahun lalu, dan beliau berkata : diMadinah masih dikenal hal seperti ini.
Dan dalam kitab Masail Abu Dawud (61) beliau berkata : Aku mendengar Ahmad ditanya tentang kaum yang diucapkan kepada mereka pada hari raya: Taqabbalallahu minna waminkum, beliau berkata : aku berharap hal itu tidak mengapa.
Dalam kitab Al-Furu oleh Ibnul Muflih (2/150) berkata : tidak mengapa mengucapkan kepada yang lain: Taqabbalallahu minna waminkum, sebagian menukilkannya sebagai jawaban, dan beliau berkata : aku tidak memulainya, dan dari beliau : semuanya bagus, dan dari beliau : makruh, dan ditanya kepada beliau dalam riwayat Hanbal : apakah dia boleh memulainya ? beliau berkata : tidak, dan Ali bin Said menukilkan : alangkah baiknya itu kecuali jika dikuatirkan ucapan itu menjadi terkenal, dan dalam satu nasihat : sesungguhnya itu perbuatan sahabat, dan bahwa itu perkataan ulama.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya dalam Majmu Fatawa (24/253) : apakah ucapan selamat hari raya yang biasa diucapkan orang-orang : Ied Mubarak (hari raya yang diberkahi), dan semacamnya, apakah ada dasarnya dalam syariat atau tidak ? dan kalau ada dasarnya dalam syariat, maka apa yang diucapkan, berilah fatwa kepada kami ?
Maka beliau menjawab : adapun ucapan selamat hari raya dimana sebagian orang mengucapkan kepada sebagian lain apabila bertemu setelah sholat Ied : Taqabbalallahu minna waminkum, dan semoga Allah Menyampaikanmu tahun depan, dan semacam itu maka ini telah diriwayatkan oleh sebagian sahabat bahwa dahulu mereka melakukannya, dan dibolehkan sebagian Imam seperti Ahmad dan lainnya, tetapi Ahmad berkata : aku tidak mahu memulainya lebih dahulu, namun jika seseorang mengucapkannya kepadaku maka aku menjawabnya, karena itu jawaban ucapan selamat yang hukumnya wajib, adapun mengucapkan selamat terlebih dahulu bukan merupakan sunah yang diperintahkan, dan juga bukan termasuk yang dilarang, baangsiapa yang mengerjakannya maka dia memiliki panutannya, dan siapa yang meninggalkannya maka diapun memiliki panutannya. Wallahu Alam.
Kesimpulan:
Menurut pendapat saya (Syeikh Abul Hasan): bahwa ucapan selamat lebih dekat kepada adat dari pada ibadah, dan dalam perkara kebiasaan dasarnya adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya, tidak seperti ibadah dimana orang yang mengatakannya perlu membawakan dalil atas ucapannya, seperti diketahui bahwa adat kebiasaan berbeda dari satu zaman ke zaman lain, dari satu tempat ke tempat lain, kecuali perkara yang telah pasti dilakukan oleh sahabat atau sebagiannya , lebih patut untuk diikuti dari pada yang lain.
Syeikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apa hukum ucapan selamat hari raya? Dan apakah ada ucapan tertentu?
Maka beliau menjawab: “ucapan selamat hari raya dibolehkan, dan tidak ada ucapan selamat yang khusus, tetapi apa yang biasa diucapkan oleh manusia dibolehkan selama bukan merupakan ucapan dosa”.
Dan beliau juga berkata:
“Ucapan selamat hari raya telah diamalkan sebagian sahabat radhiallahu anhum, seandainya hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh sahabat, namun hal tersebut sekarang telah menjadi perkara tradisi yang biasa dilakukan manusia, dimana sebagian mengucapkan selamat kepada yang lain dengan tibanya hari raya dan sempurnanya puasa dan qiyamul lail”.
Dan beliau rahimahullah juga ditanya: apa hukum berjabat tangan, berpelukan dan ucapan selamat hari raya setelah sholat Ied?
Beliau menjawab: perkara-perkara ini tidak mengapa dilakukan, karena manusia tidak menjadikannya bentuk ibadah dan taqarrub kepada Allah Azza wa Jalla, namun hanya menjadikannya sebagai tradisi, memuliakan dan menghormati, selama tradisi tersebut tidak ada larangannya secara syarie maka dasarnya adalah boleh”. Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin (16/208-210). Wallahu Alam Bishowab.

17 Agustus 2012

history valentine day

Tepatnya pada tanggal 14 Februari 2011, kita akan selalu menyaksikan media massa, mal-mal, pusat-pusat hiburan bersibukria berlomba menarik perhatian para remaja dengan menggelar pesta perayaan yang tak jarang berlangsung hingga larut malam bahkan hingga dini hari. 

Semua pesta tersebut bermuara pada satu hal yaituValentine’s Day. Biasanya mereka saling mengucapkan“Selamat hari Valentine”, berkirim kartu dan bunga, saling bertukar pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta karena anggapan saat itu adalah “Hari Kasih Sayang”. Benarkah demikian..? 

Untuk ikut serta menyelamatkan generasi muda Muslim secara khusus dan kaum Muslimin secara umum dari segala bentuk pesta perayaan yang bukan berasal dari Islam, apalagi dapat menyebabkan pendangkalanan aqidah mereka, maka Departemen Dakwah Yayasan Al-Sofwa, berencana insya Allah akan mencetak ulang dan memperbanyak brosur serial dakwah yang bertema “Ada Apa Dengan Valentine’s Day..??”. 

Penanggungjawab Div. Buku Gratis, menyatakan kalau brosur dakwah yang berisi sejarah singkat Valentin’s Day dan hukum merayakannya tersebut sengaja dicetak ulang untuk dibagikan secara “gratis” kepada segenap kaum Muslimin dan sekaligus mengajak muhsinin, lembaga atau yayasan semisal ikut serta bekerjasama dalam program semisal dengan cara ikut serta mendanai atau menerbitkannya. 

Selanjutnya ia mengungkapkan dan berharap, “Semoga program ini bermanfa’at bagi segenap kaum Muslimin dan dapat memberikan inspirasi kepada lembaga lain untuk bersama-sama melakukan hal yang sama dalam rangka mengajak ummat kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan yang mungkar.”

15 Agustus 2012

Ciri wanita Penghuni surga

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Di antara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :
1. Bertakwa.
2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.
Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.
Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.
Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.
Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.
Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.
Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.
Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.
Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.
Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).
Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.
Berbakti kepada kedua orang tua.
Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.
Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman : “ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13)

9 Agustus 2012

Adab-adab di Hari Jum'at


          Hari Jumat adalah hari yang mulia, dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia memuliakannya. Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rasulullah dan sahabatnya, bagaimana seharusnya msenyambut hari tersebut agar amal kita tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari Allah ta’ala. Berikut ini beberapa adab yang harus diperhatikan bagi setiap muslim yang ingin menghidupkan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jumat.
1. Memperbanyak Sholawat Nabi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat kalian akan ditunjukkan kepadaku, para sahabat berkata: ‘Bagaimana ditunjukkan kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah?’ Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Shohih. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i)
2. Mandi Jumat
Mandi pada hari Jumat wajib hukumnya bagi setiap muslim yang balig berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Rasulullah bersabda yang artinya, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhori dan Muslim). Mandi Jumat ini diwajibkan bagi setiap muslim pria yang telah baligh, tetapi tidak wajib bagi anak-anak, wanita, orang sakit dan musafir. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabah biasa. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi Jumat seperti mandi janabah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Menggunakan Minyak Wangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat ke masjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu sholat sesuai yang ditentukan baginya dan ketika imam memulai khotbah, ia diam dan mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Bersegera Untuk Berangkat ke Masjid
Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.” (HR. Bukhari). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna hadits ini yaitu para sahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.” (Lihat Fathul Bari II/388)
5. Sholat Sunnah Ketika Menunggu Imam atau Khatib
Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari.” (HR. Muslim)
6. Tidak Duduk dengan Memeluk Lutut Ketika Khatib Berkhotbah
“Sahl bin Mu’ad bin Anas mengatakan bahwa Rasulullah melarang Al Habwah (duduk sambil memegang lutut) pada saat sholat Jumat ketika imam sedang berkhotbah.” (Hasan. HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
7. Sholat Sunnah Setelah Sholat Jumat
Rasulullah bersabda yang artinya, “Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat.” Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata, “Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang.” (HR. Muslim, Tirmidzi)
8. Membaca Surat Al Kahfi
Nabi bersabda yang artinya, “Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.” (HR. Imam Hakim dalam Mustadrok, dan beliau menshahihkannya)
Demikianlah sekelumit etika yang seharusnya diperhatikan bagi setiap muslim yang hendak menghidupkan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di hari Jumat. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa di atas sunnah Nabi-Nya dan selalu istiqomah di atas jalan-Nya.

(Disarikan dari majalah Al Furqon edisi 8 tahun II oleh Abu Abdirrohman Bambang Wahono)

Akhlaq mulia antara Alami dan Usaha


Sebagaimana akhlaq merupakan sebuah tabiat atau ketetapan asli, akhlaq juga bisa diperoleh atau diupayakan dengan jalan berusaha. Maksudnya, bahwa seorang manusia sebagaimana telah ditetapkan padanya akhlaq yang baik dan bagus, sesungguhnya memungkinkan juga baginya untuk berperilaku dengan akhlaq yang baik dengan jalan berusaha dan berupaya untuk membiasakannya. Untuk itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada Asyajj 'Abdul Qais:
"Sesungguhnya dalam dirimu ada dua sifat yang Allah sukai; sifat santun dan tidak tergesa-gesa"
Ia berkata: ”Wahai Rasulullah, Apakah kedua akhlaq tersebut merupakan hasil usahaku, atau Allah-kah yang telah menetapkan keduanya padaku?” Beliau menjawab: "Allahlah yang telah mengaruniakan keduanya padamu".
Kemudian ia berkata: ”Segala puji bagi Allah yang telah memberiku dua akhlaq yang dicintai oleh-Nya dan oleh Rasul-Nya”.[1]
Maka, hal ini menunjukan bahwa akhlaq terpuji dan mulia bisa berupa perilaku alami (yakni karunia dari Allah Subhanahu waTa’ala kepada hamba-Nya-pent) dan juga dapat berupa sifat yang dapat diusahakan atau diupayakan.
Akan tetapi, tidak diragukan lagi bahwa sifat yang alami tentu lebih baik dari sifat yang diusahakan. Karena akhlaq yang baik jika bersifat alami akan menjadi perangai dan kebiasaan bagi seseorang. Ia tidak membutuhkan sikap berlebih-lebihan dalam membiasakannya. Juga tidak membutuhkan tenaga dan kesulitan dalam menghadirkannya. Akan tetapi, ini adalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Ia diberikan kepada seorang hamba yang dikehendaki oleh-Nya, barang siapa yang terhalang dari hal ini – yakni terhalang dari akhlaq tersebut secara tabiat alami –, maka sangat mungkin baginya untuk memperolehnya dengan jalan berusaha dan berupaya untuk membiasakannya. Yaitu dengan cara membiasakan dan melakukannya terus-menerus, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti Insya Allah. Siapakah Yang Lebih Utama?
Dari sini timbul pertanyaan, yaitu: Siapakah yang lebih utama, seseorang yang telah dikaruniakan padanya akhlaq yang terpuji, dan seseorang yang bersungguh-sungguh berusaha dan berupaya agar dapat memperoleh akhlaq tersebut. Manakah di antara keduanya yang lebih tinggi kedudukannya?. Maka, kami berkata sebagai jawaban dari pertanyaan ini: Sesungguhnya tidak diragukan lagi, bahwa seseorang yang telah diberikan padanya akhlaq yang baik tentu lebih sempurna jika dilihat dari segi perilakunya yang memang sudah seperti itu, ataupun dilihat dari sisi telah tertanamnya akhlaq yang baik tersebut pada dirinya. Karena dia tidak akan merasa kepayahan dan kesulitan ketika menghadirkannya, dan juga tidak akan hilang darinya akhlaq tersebut meskipun ia berada dimanapun juga, karena memang akhlaq yang baik telah menjadi perangai dan tabiat aslinya. Kapanpun engkau bertemu dengannya pasti akan mendapatinya baik akhlaqnya, dan dalam keadaan bagaimanapun juga engkau bertatap muka dengannya, pasti akan menemuinya terpuji perilakunya. Maka, dari sisi yang satu ini dia tentu lebih sempurna tanpa diragukan lagi.
Adapun yang satunya lagi, ia telah bersungguh-sungguh berjuang melawan dan melatih dirinya untuk dapat berperilaku baik. Maka, tidak diragukan lagi bahwa dia mendapat pahala dari sisi perjuangannnya dalam melawan dirinya, dan tentu saja dia lebih utama dari sisi yang ini. Akan tetapi bagaimanapun juga, jika ditinjau dari segi kesempurnaan akhlaq, tentu saja dia kurang sempurna dari figur yang pertama. Adapun jika ada seseorang yang mendapatkan karunia tersebut kedua-keduanya, yaitu secara alami dan setelah berusaha dan berupaya, tentu saja dia akan lebih sempurna lagi. Jadi ringkasnya, seseorang dalam masalah ini terbagi menjadi empat golongan:
1. Orang yang terhalang untuk mendapatkan akhlaq yang mulia, baik secara alami maupun dengan jalan usaha dan upaya.
2. Orang yang terhalang dari hal tersebut secara alami, akan tetapi ia dapat berusaha untuk memilikinya.
3. Orang yang dikaruniai keduanya.
4. Orang yang mempunyai akhlaq secara alami, akan tetapi terhalang dari usaha dan upaya untuk memilikinya.
Dan tentu saja tidak diragukan lagi, bahwa golongan yang ketiga adalah yang paling utama, karena ia menyatukan antara keduanya dalam kemuliaan akhlaqnya.[2]

Sumber: Syeikh Muhammad sholih Hutsaimin kitab, Akhlaqul Karimah. Yang diterjemahkan Abu Musa al-Atsari


[1] Dikeluarkan oleh Abu Daud, No (5225) di Kitaabul Adab, dan Ahmad (4 / 206). Imam
Muslim hanya mengeluarkan bagian yang pertama saja, No (25 & 26) di Kitaabul Iimaan,
juga oleh Imam Tirmidzi, No (2011) di Kitaabul Bir Wash Shilah.
[2] Ibnul Qayyim Rahimahullahu berpendapat bahwa semua akhlak mulia terlahir dari dua perkara:
1. Ke-khusyu'-kan, dan
2. Tingginya kemauan.
Beliau bertutur dalam kitabnya al-Fawaa-id, Hal (210 & 211): Adapun akhlak-akhlak yang mulia, seperti sabar, berani, adil, perangai yang baik, menjaga kesucian dari hal-hal haram dan memelihara diri darinya, dermawan, santun, suka memberi maaf, suka memberi ampun, rela menanggung beban, mengutamakan orang lain, mulianya diri dari segala perilaku yang hina-dina, rendah diri, rela menerima apa adanya, jujur, ikhlas, membalas kebaikan dengan semisalnya atau bahkan melebihkannya, menutup mata dari kesalahan-kesalahan orang lain, tidak menyibukkan diri dari hal yang tidak ada manfaatnya, dan sikap hati yang selalu mengkritisi akhlak yang tercela dan yang semacamnya. Maka, semua akhlak yang terpuji tersebut tumbuh dari ke-kusyu'-kan dan tingginya kemauan. Dan Allahltelah mengabarkan tentang bumi ini, bahwasanya dahulunya bumi ini khusyu' atau tunduk, kemudian ia diguyur oleh air hujan lalu mulailah ia bergerak. Dan bertambahlah keindahan dan keelokannya. Begitulah pula keadaan manusia jika ia mendapat bagian dari taufiq atau hidayah-Nya.

8 Agustus 2012

Qunut witir


Tanya:
Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?
Jawab:
Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan.
[Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Fatawa Nur ‘alad Darb, 2/1062[1]]
Catatan: Dari sini kita melihat bahwa do'a qunut witir itu boleh dibaca setiap saat (setiap malam), tidak khusus hanya di bulan Ramadhan, tidak khusus pula setelah 15 Ramadhan.

Muhammad Abduh Tuasikal

6 Agustus 2012

Definisi Iman


Arti Iman Kepada Allah

Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat dengan anggota badan (beramal). Dengan demikian iman kepada Allah berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada, Allah Maha Esa. Keyakinan itu diucapkan dalam kalimat :
أشهد أن لاإله إلا الله
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah”
Sebagai perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti dengan perbuatan, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Secara fitrah, setiap makhluk mengimani adanya Dzat yang menciptakan tanpa harus berpikir atau mempelajari terlebih dahulu. Adapun jika tidak sesuai dengan fitrah, maka ini terjadi karena ada sesuatu yang memasuki hatinya dan memalingkannya dari fitrah tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Lalu orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rukun Iman yang pertama adalah iman kepada Allah SWT yang merupakan dasar dari seluruh ajaran Islam. Orang yang akan memeluk agama Islam terlebih dahulu harus mengucapkan kalimat syahadat. Pada hakekatnya kepercayaan kepada Allah SWT sudah dimiliki manusia sejak ia lahir. Bahkan manusia telah menyatakan keimanannya kepada Allah SWT sejak ia berada di alam arwah.  Firman Allah SWT :
وإذ اخذ ربك من بني أدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على انفسهم الست بربكم قالوا بلى شهدنا
“Dan ingatlah, ketika TuhanMu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi.” (QS. Al-A’raf : 172)
Jauh sebelum datangnya agama Islam, orang-orang jahiliyah juga sudah mengenal Allah SWT. Mereka mengerti bahwa yang menciptakan alam semesta dan yang harus disembah adalah dzat yang Maha Pencipta, yakni Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan di dalam Al-Qur’an :
ولئن سألتهم من خلق السموت والأرض ليقولن خلقهن العزيز العليم
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf : 9)
Manusia memiliki kecenderungan untuk berlindung kepada sesuatu Yang Maha Kuasa. Yang Maha Kuasa itu adalah dzat yang mengatur alam semesta ini. Dzat yang mengatur alam semesta ini sudah pasti berada di atas segalanya. Akal sehat tidak akan menerima jika alam semesta yang sangat luas dan teramat rumit ini diatur oleh dzat yang kemampuannya terbatas. Sekalipun manusia sekarang ini sudah dapat menciptakan teknologi yang sangat canggih, namun manusia tidak dapat mengatur alam raya ini. Dengan kecanggihan teknologinya, manusia tidak akan dapat menghentikan barang sedetik pun bumi untuk berputar.
Dzat Allah adalah sesuatu yang ghaib. Akal manusia tidak mungkin dapat memikirkan dzat Allah. Oleh sebab itu mengenai adanya Allah SWT, kita harus yakin dan puas dengan apa yang telah dijelaskan Allah SWT melalui firman-firman-Nya dan bukti-bukti berupa adanya alam semesta ini.
Ketika Rasulullah SAW endapat kabar tentang adanya sekelompok orang yang berusaha memikirkan dan mencari hakekat dari dzat Allah, maka beliau melarang mereka untuk melakukan hal itu. Rasulullah SAW bersabda :
عن ابن عباس أن قوما تفكروا فى الله عزوجل وقال النبي صلى الله عليه وسلم تفكروا فى خلق الله ولا تفكروا فى ذات الله (رواه ابو الشيخ)
“Dari Ibnu Abbas RA, diceritakan bahwa ada suatu kaum yang memikirkan tentang (hakekat) dzat Allah Azza Wajalla, maka Nabi SAW bersabda : “Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu memikirkan (hakekat) dzat Allah.” (HR. Abu Asy-Syaikh)
Sebagai perwujudan dari keyakinan akan adanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah pengabdian kita kepada Nya. Pengabdian kita kepada Allah adalah pengabdian dalam bentuk peribadatan, kepatuhan, dan ketaatan secara mutlak. Tidak menghambakan diri kepada selain Allah, dan tidak pula mempersekutukan Nya dengan sesuatu yang lain. Itulah keimanan yang sesungguhnya. Jika sudah demikian Insya Allah hidup kita akan tentram. Apabila hati dan jiwa sudah tentram, maka seseorang akan berani dan tabah dalam menghadapi liku-liku kehidupan ini. Segala nikmat dan kesenangan selalu disyukurinya. Sebaliknya setiap musibah dan kesusahan selalu diterimanya dengan sabar.
Dasar Beriman Kepada Allah
a.       Kecenderungan dan pengakuan hati
b.      Wahyu Allah atau Al-Qur’an
c.       Petunjuk Rasulullah atau Hadits
Setiap manusia secara fitrah, ada kecenderungan hatinya untuk percaya kepada kekuatan ghaib yang bersifat Maha Kuasa. Tetapi dengan rasa kecenderungan hati secara fitrah itu tidak cukup. Pengakuan hati merupakan dasar iman. Namun dengan pengakuan hati tidak akan ada artinya, tanpa ucapan lisan dan pengalaman anggota tubuh. Sebab antara pengakuan hati, pengucapan lisan, dan pengalaman anggota tubuh merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk mencapai keimanan yang benar tidak hanya berdasarkan fitrah pengakuan hati nurani saja, tetapi harus dipadukan dengan Al-Qur’an dan Hadits.

Cara Beriman Kepada Allah SWT
Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak-benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku beragama Islam.
Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah SWT :
a.       Bersifat Ijmali
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Qur’an sebagai suber ajaran pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal Allah SWT. Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia Maha Pencipta, Maha Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.
b.      Bersifat Tafshili
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah mempercayai Allah secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya. Sebagai bukti adalah adanya “Asmaul Husna” yang kita dianjurkan untuk berdoa dengan Asmaul Husna serta menghafal dan juga meresapi dalam hati dengan menghayati makna yang terkandung di dalamnya.
Maroji: Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad ibn Sholih Al ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi

5 Agustus 2012

Tauhid Asma Wa Shifat


بسم الله الرحمن الرحيم
Bismillah..Pembaca yang budiman, mungkin banyak diantara kita yang belum paham bahwa Allah  memiliki banyak nama dan sifat. Namun tentu saja nama dan sifat Allah  berbeda dengan nama dan sifat makhluk-Nya, karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Di antara perbedaannya, nama dan sifat Allah  penuh dengan kesempurnaan, sedangkan nama dan sifat makhluk mengandung banyak kekurangan. Pemahaman yang benar tentang nama dan sifat Allah  akan memberi dampak yang besar terhadap keimanan seseorang. Sebaliknya, pemahaman yang keliru bisa menyebabkan seseorang kufur kepada Allah .
1.         Definisi
Yang dimaksud dengan tauhid ini ialah mengesakan Allah  dengan seluruh nama dan sifat yang dimiliki-Nya. Keyakinan ini mengandung dua perkara:
a.         Penetapan, yang dimaksud adalah menetapkan bagi Allah  seluruh nama dan sifat-Nya. Maka tidaklah kita menetapkan nama bagi Allah  kecuali dengan nama yang Allah  tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya . Demikian pula tidaklah kita menetapkan sifat bagi Allah  kecuali dengan sifat yang Allah  tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya .
b.         Peniadaan, yang dimaksud adalah meniadakan dari Allah  seluruh nama dan sifat yang telah ditiadakan oleh Allah  dan Rasul-Nya. Meniadakan pula semua penyerupaan dengan nama dan sifat makhluk. Jika ada keserupaan dari sisi asal makna kata namun hakikatnya tetaplah berbeda. Jadi, yang ditiadakan adalah keserupaan dari segala sisi, bukan pada sebagiannya.
Dalil syar’i penetapan dan peniadaan ini, di antaranya adalah firman Allah , “Hanya milik Allah nama-nama yang paling baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mengenai nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan atas segala yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf : 180)
2.         Prinsip dalam Menetapkan Nama dan Sifat bagi Allah
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, Ahlus Sunnah menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah . Tidak diragukan lagi, bahwa menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah  haruslah dengan prinsip-prinsip yang benar. Ahlus Sunnah menyucikan nama dan sifat-sifat Allah  tanpa menolaknya dan menetapkannya tanpa menyerupakannya (dengan nama dan sifat-sifat makhluk). Ada 4 perkara yang diingkari oleh Ahlus Sunnah dalam menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah , sebagai berikut:
a. At-Tahrif, secara bahasa bermakna menyimpangkan sesuatu dari hakikat, bentuk, dan kebenarannya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah memalingkan sebuah ucapan dari makna zhahir-nya yang semula dipahami, kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh rangkaian kalimatnya.
Perbuatan At-Tahrif terbagi kepada dua jenis:
1)         At-Tahrif yang dilakukan pada teks lafadz. Jenis yang ini terbagi kepada tiga bentuk:
a)         Mengubah harakatnya. Di antaranya seperti bacaan dari sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah :
وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa`: 164)
Mereka membacanya dengan memberi harakat fathah pada kata ( اللهَ ) dengan tujuan untuk mengubah maknanya,
yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam yang mengajak Allah  untuk berbicara, bukan sebaliknya.
b)         Menambahkan hurufnya, yang demikian itu seperti men-tahrif bacaan اسْتَوَى yang artinya tinggi, menjadi اسْتَوْلَى yang artinya berkuasa.
c)         Menambahkan kalimatnya, yang demikian itu seperti menambahkan kata (الرَّحْمَةُ) yang artinya rahmat, pada firman Allah وَجَاءَ رَبُّكَ yang artinya “telah datang Rabbmu”, sehingga menjadi وَجَاءَ رَحْمَةُ رَبِّكَ yang artinya “telah datang rahmat Rabbmu.”
2)         At-Tahrif yang dilakukan pada makna kata tanpa mengubah harakat dan lafadznya.
Contohnya seperti ucapan sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah : “Bahkan kedua tangan-Nya terbentang.”(Al-Ma`idah: 64)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan-Nya adalah kekuasaan atau nikmat-Nya, atau yang selain itu.
Di sini perlu ditegaskan bahwa ahli bid’ah yang suka melakukan At-Tahrif tidak menamakannya dengan At-Tahrif, tetapi menyebutnya sebagai At-Ta`wil yang artinya menafsirkan. Hal ini karena mereka tahu bahwa kata At-Tahrif berkonotasi jelek dan tercela di dalam Al-Qur`an. Sebagaimana firman Allah : “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS. An-Nisa`: 46)
Pada ayat di atas Allah  menisbatkan perbuatan At-Tahrif kepada kaum Yahudi. Ini menunjukkan bahwa konotasi maknanya adalah jelek. Mereka mengganti istilah At-Tahrif dengan istilah At-Ta`wil agar lebih diterima oleh banyak kalangan, dan dalam rangka melariskan dagangan kebid’ahan mereka di antara orang-orang yang tidak bisa membedakan antara keduanya.
b.         At-Ta’thil, secara bahasa maknanya meninggalkan dan mengosongkan. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menolak makna yang benar di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. At-Ta’thil terbagi kepada dua jenis:
1)         At-Ta’thil yang bersifat global, yaitu menolak nama dan sifat-sifat Allah  secara menyeluruh, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Jahmiyyah, Al-Qaramithah, para ahli filsafat, dan yang selain mereka.
2)         At-Ta’thil yang bersifat parsial, yaitu menolak sebagian dan menetapkan sebagian yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah dan menetapkan nama-nama-Nya.
Demikian pula kelompok Al-Asya’irah, Al-Kullabiyyah, dan Al-Maturidiyyah yang menolak sebagian sifat Allah  dan menetapkan sebagian yang lainnya.
c.         At-Tamtsil, secara bahasa maknanya menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah meyakini bahwa sifat-sifat Allah yang Maha Pencipta serupa dengan sifat-sifat makhluk ciptaan-Nya. At-Tamtsil terbagi dua jenis:
1)         Menyerupakan makhluk dengan Dzat Yang Maha Pencipta, yaitu menetapkan untuk makhluk sesuatu yang telah menjadi kekhususan Dzat yang Maha Pencipta. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah Allah .
2)         Menyerupakan Dzat yang Maha Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya, yaitu menetapkan untuk Dzat yang Maha Pencipta sesuatu yang telah menjadi kekhususan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi ketika mereka mengatakan bahwa Allah  adalah Dzat yang faqir, pelit, dan lemah.
d.         At-Takyif, maknanya meyakini sifat-sifat Allah  dalam bentuk tertentu yang dibayangkan di alam pikiran, atau menanyakan bagaimana bentuknya walaupun tanpa menyerupakannya dengan sesuatu yang wujud.
Berarti At-Takyif berbeda dari At-Tamtsil dari satu sisi dan sama dari sisi yang lainnya. Perbedaan keduanya, At-Takyif menyerupakan sifat-sifat Allah  dengan sesuatu yang tak ada wujudnya di luar alam pikiran, sedangkan At-Tamtsil menyerupakan sifat-sifat Allah  dengan sesuatu yang ada wujudnya di luar alam pikiran. Adapun kesamaannya, keduanya sama-sama perbuatan menyerupakan Allah  dengan yang selainnya. Sehingga setiap orang yang melakukan At-Tamtsil pasti melakukan pula At-Takyif, tetapi tidak sebaliknya.
3.         Kelompok-kelompok yang menyimpang
Secara garis besar, kelompok-kelompok yang menyimpang dalam perkara nama dan sifat Allah  terbagi menjadi 2 golongan:
a. Al-Mu’aththilah, yaitu orang-orang yang mengingkari nama dan sifat-sifat Allah , baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Mereka mengingkari karena keyakinan bahwa menetapkannya berarti menyerupakan Allah  dengan makhluk-Nya. Keyakinan mereka ini adalah batil dan bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Untuk membuktikan kebatilan keyakinan mereka, bisa dilihat dari beberapa sisi, di antaranya:
1)         Keyakinan mereka ini mengandung beberapa konsekuensi yang batil, di antaranya berkonsekuensi terjadinya kontradiksi di antara firman-firman Allah . Pada sebagian ayat, Allah  menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Dzat-Nya. Pada ayat yang lain, Allah  meniadakan penyerupaan-Nya dengan yang selain-Nya. Jika menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah  berarti menyerupakan Allah  dengan makhluk-Nya, maka telah terjadi kontradiksi di antara firman-firman Allah , dan sebagiannya telah mendustakan sebagian yang lain.
2)         Kesamaan antara dua hal dalam perkara nama atau sifat, tidaklah menuntut keserupaan antara hakikat keduanya dari segala sisi. Kita bisa melihat dua orang yang sama-sama disebut dengan manusia, mendengar dan melihat. Namun bukan berarti keduanya sama dalam sifat kemanusiaan, pendengaran, dan penglihatan dari segala sisi. Pasti sifat-sifat yang dimiliki oleh keduanya sangat berbeda hakikatnya. Bila perbedaan hakikat nama dan sifat terjadi di kalangan makhluk walaupun ada kesamaan pada sebagian sisi, maka perbedaan hakikat nama dan sifat antara Allah  dan makhluk-Nya tentu lebih nyata dan lebih besar.
b.         Al-Musyabbihah, yaitu orang-orang yang menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah  tetapi menyerupakan dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Mereka menyerupakannya karena berkeyakinan bahwa hal itu merupakan kandungan makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tentunya Allah  mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami. Kita meyakini bahwa keyakinan mereka ini adalah batil. Bisa dibuktikan kebatilan keyakinan mereka dari beberapa sisi, di antaranya:
1)         Menyerupakan Allah  dengan makhluk-Nya adalah kebatilan yang ditolak oleh naluri logika dan syariat. Sebab, kandungan-kandungan makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak mungkin merupakan perkara yang batil.
2)         Bahwasanya Allah  mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami dari sisi asal makna kata atau kalimat. Adapun bentuk dan hakikat yang berkaitan dengan nama dan sifat-sifat Allah  tidaklah mereka ketahui, dan ilmunya hanya di sisi Allah . Sebagai contoh, ketika Allah  menetapkan sifat ‘mendengar’ dan ‘melihat’ bagi Dzat-Nya, niscaya kita bisa memahami maksud kata ‘mendengar’ dan ‘melihat’ dari sisi asal makna kata. ‘Mendengar’ artinya mampu menangkap segala suara dan ‘melihat’ artinya mampu menangkap apa saja yang bisa dilihat. Namun tak seorang pun di antara manusia yang dapat mengetahui hakikat pendengaran dan penglihatan Allah . Oleh karena itu, hakikat sifat mendengar dan melihat yang ada di kalangan manusia berbeda dengan hakikat sifat mendengar dan melihat yang dimiliki oleh Allah .
4.         Al-Ilhad dalam Masalah Nama dan Sifat Allah
Al-Ilhad secara bahasa maknanya miring atau menyimpang dari sesuatu. Disebut liang lahad dalam kuburan dengan nama itu karena lubangnya berada di bagian samping dari kuburan dan bukan di tengahnya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menyimpang dari syariat yang lurus kepada salah satu bentuk kekafiran.
Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah  artinya menyimpang dari kebenaran yang wajib untuk ditetapkan pada nama dan sifat-sifat-Nya. Allah  berfirman, “Hanya milik Allah nama-nama yang baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam perkara nama-nama-Nya. Niscaya mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180)
Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah  terbagi kepada lima jenis, sebagai berikut:
a.         Menetapkan bagi Allah  sebuah nama atau lebih, yang tidak ditetapkan oleh Allah  bagi Dzat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli filsafat ketika mereka menamakan Allah  dengan sebutan, (عِلَّةٌ فَاعِلَةٌ) yang artinya unsur pembuat. Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka menamakan Allah  dengan sebutan tuhan bapak dan menamakan Nabi ‘Isa dengan sebutan tuhan anak. Semua ini adalah penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah .
Sepantasnya juga kaum muslimin menghindari memanggil nama Allah dengan sebutan ‘Gusti’ atau ‘Pangeran’, seperti ucapan: “Duh Gusti ampunilah aku,” atau “Wahai Pangeran tolonglah aku.” Hal ini sebaiknya dihindari, karena dikhawatirkan termasuk dalam bentuk penamaan terhadap Allah  dengan sesuatu yang Allah  tidak menamai diri-Nya dengannya, dan tidak pula dinamai oleh Rasul-Nya. Karena nama dan sifat Allah  adalah perkara tauqifiyyah, yakni tidak bisa ditetapkan kecuali dengan pemberitaan dari Allah  dan Rasul-Nya. Bila kita menamakan Allah  dengan sesuatu yang tidak Allah  tetapkan bagi Dzat-Nya, berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
b.         Mengingkari satu nama atau lebih, yang telah ditetapkan oleh Allah  bagi Dzat-Nya. Perbuatan ini adalah kebalikan dari yang pertama. Maka pengingkaran terhadap nama-nama Allah  baik secara keseluruhan atau sebagian merupakan perbuatan Al-Ilhad. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia yang menolak nama-nama Allah  seperti kelompok Al-Jahmiyyah. Mereka mengingkari dan menolak nama-nama Allah  dengan alasan agar tidak menyerupakan Allah  murni dan tidak bisa diterima. Bila Allah  telah menetapkan sebuah nama bagi Dzat-Nya maka kita harus menetapkannya pula dan tak ada alasan untuk menolaknya. Jika kita mengingkari atau menolaknya berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
c. Menetapkan nama-nama Allah  tetapi mengingkari sifat-sifat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Al-Mu’tazilah. Sebagai contoh, mereka menetapkan bahwa Allah  adalah Dzat Yang Maha Mendengar namun tanpa pendengaran, Maha Melihat namun tanpa penglihatan, Maha Mengetahui namun tanpa ilmu, Maha Kuasa namun tanpa kekuasaan, dan seterusnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa nama-nama Allah  yang banyak itu pada hakikatnya hanyalah satu nama saja, tidak lebih. Pendapat-pendapat mereka ini sangat tidak logis bagi siapa saja yang memiliki akal pikiran. Terlebih lagi jika diukur dengan penilaian Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidaklah ditetapkan sebuah nama pada sesuatu melainkan karena dia memiliki sifat yang sesuai dengan namanya. Dan setiap nama pasti menunjukkan kepada suatu sifat yang sesuai dengannya. Maka bagaimana mungkin dinyatakan bahwa nama-nama yang banyak pada hakikatnya hanya menunjukkan pada satu nama? Ini jelas penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah .
d.         Menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah  tetapi juga menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Hal ini sebagaimana dilakukan kelompok Al-Musyabbihah. Seharusnya kita menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah  tanpa menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Jika tidak, berarti kita telah melakukan penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah . Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
e.         Mengambil pecahan kata dari nama-nama Allah  lalu menjadikannya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah . Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin di masa jahiliah. Mereka menamakan sebagian berhala mereka dengan pecahan kata yang diambil dari nama Allah . Seperti, Al-Laatta yang diambil dari nama Allah  Al-Ilah, Al-’Uzza yang diambil dari nama Allah Al-’Aziz, Al-Manaat yang diambil dari nama Allah Al-Mannan. Ini adalah penyimpangan dalam menggunakan nama-nama Allah . Seharusnya nama-nama Allah  menjadi perkara yang khusus bagi Allah  dan tidak mengambil pecahan-pecahan katanya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah . Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
Demikianlah jenis-jenis penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah . Ahlus Sunnah tidak berbuat Al-Ilhad (penyimpangan), bahkan mereka menyikapi nama dan sifat-sifat Allah  sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah  sendiri. Mereka menetapkan pula seluruh makna yang telah ditunjukkan oleh nama dan sifat-sifat Allah  itu, karena mereka meyakini bahwa menyelisihi prinsip ini merupakan perbuatan Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah .
5.         Buah Keimanan kepada Nama dan Sifat Allah
Beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah  bukan suatu perkara yang sia-sia, bahkan ini adalah hal yang sangat bermanfaat, antara lain:
1. Merealisasikan tauhid kepada Allah , sehingga seorang hamba tidak menggantungkan harapan, rasa takut, dan ibadahnya kepada yang selain Allah .
2. Menyempurnakan rasa cinta dan pengagungan kepada Allah  sesuai dengan kandungan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
3.         Merealisasikan peribadahan kepada Allah  dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Demikianlah yang bisa kita tuliskan di sini, semoga bermanfaat bagi segenap kaum muslimin. Wallohua’lam bis shawab.
Rujukan : Syarah Tslalatsatul Ushul karya Syaikh ‘Utsaimin, Syarah Al-’Aqidah washithiyah karya Dr. Shaleh Al-Fauzan, dsbg.